Padahal kata Retno, orang tua korban,AT, telah berulangkali meminta agar anak-anak diberikan pelajaran agama Kristen agar bisa naik kelas. Namun itu dipersulit dengan berbagai syarat yang tidak berdasar hukum.
“Selama tahun ajaran 2019-2020, Bapak AT terus berupaya meminta agar ketiga anaknya diberikan akses pendidikan Agama dari pihak sekolah. AT tidak pernah menolak kelas Agama Kristen tersebut, bahkan memintanya,” ujar Retno.
Baca Juga:
Pengusaha Optimistis Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,9% di 2023, Asalkan Pemerintah Lakukan Ini
Menurut Retno, dalam persoalan ini, pihak sekolah telah melanggar hukum karena tidak memberikan pelajaran agama, menetapkan syarat-syarat yang tidak berdasar hukum, serta mempersoalkan keyakinan agama dari ketiga anak.
“Sekolah bukan hanya tidak mampu memberikan pendidikan Agama dari guru yang seagama bagi ketiga anak tersebut, sebagaimana ketentuan dalam peraturan perundangan, namun dengan aktif menghalangi ketiga anak mendapatkannya," tegasnya.
Pada persoalan ini, PTUN Samarinda memutuskan bahwa keputusan sekolah untuk membuat ketiga anak tidak naik kelas karena pelajaran agama adalah keputusan yang keliru, dilatarbelakangi pada tindakan diskriminatif.
Baca Juga:
Pemerintah Batasi Pupuk Bersubsidi Mulai 2023, Cuma untuk Urea dan NPK
Sementara pada tinggal kelas tiga (2020/2021), pihak sekolah beralasan nilai agama ketiga anak tersebut rendah.
Meski ketiga siswa tersebut telah diberikan pelajaran agama (karena permohonan orang tua), namun mereka tetap diberikan nilai agama yang rendah sehingga tidak naik kelas.
Bahkan kata Retno, ketiga anak dipaksa menyanyikan lagu rohani, meskipun sang guru tahu bahwa itu tidak sesuai dengan akidah dan keyakinan agamanya. Karena tidak dapat melakukannya, ketiga anak diberi nilai rendah dan tidak naik kelas lagi.