Padahal, ketiga anak tersebut tidak hadir karena dikeluarkan dari sekolah pada 15 Desember 2018.
Ketiga anak tersebut baru kembali ke sekolah setelah PTUN Samarinda menetapkan putusan sela pada 16 April 2019 hingga putusan itu berkekuatan hukum tetap. Sekolah lantas memutuskan ketiganya tidak naik kelas.
Baca Juga:
Pengusaha Optimistis Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,9% di 2023, Asalkan Pemerintah Lakukan Ini
Pada 8 Agustus 2019, PTUN Samarinda membatalkan keputusan sekolah karena terbukti melanggar hak-hak anak atas pendidikan dan kebebasan melaksanakan keyakinan mereka.
PTUN Samarinda menilai tindakan sekolah mengeluarkan, menghukum, dan menganggap pelaksanaan keyakinan mereka sebagai pelanggaran hukum, tidak sejalan dengan perlindungan konstitusi atas keyakinan agama dan ibadah.
“Meski hak-hak ketiga anak atas keyakinan beragama dan pendidikan dihormati dan diteguhkan di PTUN, sehingga mereka kembali ke sekolah, namun mereka diperlakukan secara tidak adil karena tidak naik kelas untuk alasan yang tidak sah,” ungkap Retno.
Baca Juga:
Pemerintah Batasi Pupuk Bersubsidi Mulai 2023, Cuma untuk Urea dan NPK
Di sisi lain, guru Pendidikan Jasmani dan Pembimbing Pendidikan Agama Kisten di sekolah itu keberatan jika ketiga kakak beradik tersebut mengikuti pelajaran agama karena adanya perbedaan akidah dan ajaran antara keyakinannya dan agama ketiga anak sebagai Kristen Saksi-Saksi Yehuwa.
Sementara pada tahun 2019-2020, ketiga siswa tersebut kembali tidak naik kelas karena tidak diberikan pelajaran agama dan tidak punya nilai agama.
Sejak ketiga anak kembali ke sekolah melalui putusan PTUN Samarinda, ketiga anak dibiarkan tanpa akses pada kelas pendidikan agama Kristen yang disediakan sekolah.