Saat krisis keuangan melanda Indonesia pada 1998, Otto sadar tidak bisa lagi mengandalkan klien lokal. Untuk itu, ia mendirikan BaliCamp, anak usaha Sigma yang fokus pada pengembangan piranti lunak untuk klien internasional. Usahanya ini berhasil dengan menggaet sejumlah klien dari luar negeri.
"Sugiri itu ibarat Bil Gates-nya Indonesia," ujar Direktur Operasi Databott Tom Malik yang telah mengenal Otto lebih dari dua dekade, seperti dikutip dari Forbes.
Baca Juga:
Pengusaha Optimistis Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,9% di 2023, Asalkan Pemerintah Lakukan Ini
Seiring berjalannya waktu, sosok nyentrik dengan rambut gondrong ini melihat peluang dari bisnis pusat data. Ia menilai ekonomi digital tidak akan tumbuh subur tanpa didukung oleh infrastruktur yang mumpuni. Sementara, kapasitas pusat data di Indonesia kala itu masih sangat minim di antara negara tetangga.
Oleh karenanya, bersama Marina Budiman dan Han Arming Hanafia, Otto mendirikan PT DCI Indonesia pada 18 Juli 2011. Anak barunya itu merupakan perusahaan pusat data Tier IV pertama di Asia Tenggara. Dari bisnis "emas digital" ini pundi-pundi kekayaan Otto menanjak.
"Indonesia memiliki populasi terbesar di kawasan, tapi menjadi salah satu negara yang memiliki kapasitas pusat data per kapita terendah di dunia," kata Otto saat diwawancara oleh Forbes Oktober lalu.
Baca Juga:
Pemerintah Batasi Pupuk Bersubsidi Mulai 2023, Cuma untuk Urea dan NPK
Selama bertahun-tahun, DCI Indonesia membangun reputasinya sebagai pusat data ternama. Perusahaan menggelontorkan US$210 juta untuk membangun empat pusat data di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat.
Layanan yang disediakan mulai dari data hosting hingga penyimpanan cloud computing. Saat ini, perusahaan menguasai setidaknya separuh dari kapasitas pusat data di Indonesia dan bekerja sama dengan Amazon hingga Google.
Pada awal Januari 2021, DCI Indonesia melantai di Bursa Efek Indonesia. Pelaku pasar merespons langkah ini dengan gegap gempita mengingat ekonomi digital tengah naik daun, salah satunya Salim Grup yang meningkatkan porsi kepemilikan pada perusahaan dari 3 persen menjadi 11 persen.