MAWAKA ID | Data merupakan komoditas berharga masa kini yang bisa menjadikan seseorang konglomerat. Hal tersebut dibuktikan oleh Otto Toto Sugiri, pendatang baru di daftar orang terkaya RI versi Forbes 2021.
Menyadur dari CNNIndonesia, Otto lahir di Bandung pada 1953, dia meraih gelar sarjana teknik elektro pada 1980 di RWTH Aanchen, Jerman.
Baca Juga:
Pengusaha Optimistis Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,9% di 2023, Asalkan Pemerintah Lakukan Ini
Ia bisa saja tinggal dan lanjut bekerja di negeri orang karena kecerdasannya. Namun, Otto memilih untuk kembali ke tanah air dan merawat sang ibunda.
Mengutip Tech in Asia, Otto mengawali karirnya sebagai teknisi piranti lunak di perusahaan minyak. Pada saat yang sama, ia juga menjadi satu dari sedikit pengusaha yang melirik bisnis teknologi pada eranya dengan mendirikan usaha rintisan (startup) pengembangan piranti lunak.
Pada 1983, ia bergabung ke bank milik keluarganya, Bank Bali, untuk membangun sistem komputer perusahaan. Ia dan timnya sukses menjadikan perusahaan sebagai salah satu bank yang melayani transaksi dengan komputer saat itu.
Baca Juga:
Pemerintah Batasi Pupuk Bersubsidi Mulai 2023, Cuma untuk Urea dan NPK
Namun, Otto tak betah dengan hierarki perusahaan. Ia ingin memiliki bisnis sendiri yang dapat membantu perusahaan lain berkembang. Selang enam tahun, Otto pun hengkang dari Bank Bali.
Otto mendirikan perusahaan pertamanya, Sigma Cipta Caraka, pada 1989. Sigma merupakan salah satu perintis industri piranti lunak yang sukses dari sisi penjualan di Indonesia.
Selang lima tahun, Otto mendirikan perusahaan penyedia jasa internet pertama di Indonesia, Indonet. Perusahaan ini membuka jalan bagi penduduk Indonesia untuk mencicip dunia maya.
Saat krisis keuangan melanda Indonesia pada 1998, Otto sadar tidak bisa lagi mengandalkan klien lokal. Untuk itu, ia mendirikan BaliCamp, anak usaha Sigma yang fokus pada pengembangan piranti lunak untuk klien internasional. Usahanya ini berhasil dengan menggaet sejumlah klien dari luar negeri.
"Sugiri itu ibarat Bil Gates-nya Indonesia," ujar Direktur Operasi Databott Tom Malik yang telah mengenal Otto lebih dari dua dekade, seperti dikutip dari Forbes.
Seiring berjalannya waktu, sosok nyentrik dengan rambut gondrong ini melihat peluang dari bisnis pusat data. Ia menilai ekonomi digital tidak akan tumbuh subur tanpa didukung oleh infrastruktur yang mumpuni. Sementara, kapasitas pusat data di Indonesia kala itu masih sangat minim di antara negara tetangga.
Oleh karenanya, bersama Marina Budiman dan Han Arming Hanafia, Otto mendirikan PT DCI Indonesia pada 18 Juli 2011. Anak barunya itu merupakan perusahaan pusat data Tier IV pertama di Asia Tenggara. Dari bisnis "emas digital" ini pundi-pundi kekayaan Otto menanjak.
"Indonesia memiliki populasi terbesar di kawasan, tapi menjadi salah satu negara yang memiliki kapasitas pusat data per kapita terendah di dunia," kata Otto saat diwawancara oleh Forbes Oktober lalu.
Selama bertahun-tahun, DCI Indonesia membangun reputasinya sebagai pusat data ternama. Perusahaan menggelontorkan US$210 juta untuk membangun empat pusat data di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat.
Layanan yang disediakan mulai dari data hosting hingga penyimpanan cloud computing. Saat ini, perusahaan menguasai setidaknya separuh dari kapasitas pusat data di Indonesia dan bekerja sama dengan Amazon hingga Google.
Pada awal Januari 2021, DCI Indonesia melantai di Bursa Efek Indonesia. Pelaku pasar merespons langkah ini dengan gegap gempita mengingat ekonomi digital tengah naik daun, salah satunya Salim Grup yang meningkatkan porsi kepemilikan pada perusahaan dari 3 persen menjadi 11 persen.
Harga saham DCII sempat melesat ke Rp59 ribu pada Juni 2021 dari harga awal yang hanya Rp525 per saham.
Keberhasilan Otto membesarkan emiten berkode DCII itu menempatkannya di salah satu kursi orang paling tajir di Indonesia.
Tahun ini, Forbes memasukkan Otto ke daftar 50 orang terkaya di RI. Ia merupakan salah satu pendatang baru yang sukses menduduki peringkat ke-19 dengan total harta US$2,5 miliar atau sekitar Rp35,62 triliun Rp (asumsi kurs Rp14.250 per dolar AS). [tum]