Salah satu hal fundamental dalam penyelenggaraan negara yang terbuka adalah adanya pengakuan atas hak publik atas informasi.
Semakin diakui hak publik atas informasi, tentu semakin terbuka lah penyelenggaraan suatu negara. Dan, semakin terbuka penyelenggaraan negara, semakin dapat ditagih pertanggungjawabannya.
Baca Juga:
Pertumbuhan Tinggi, Dirjen ESDM: Masalah Over Supply Listrik di Jawa-Bali Akan Teratasi
Pembukaan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah menjelaskan bahwa kontrak dan izin yang dibuat antara pemerintah dengan perusahaan harus diumumkan kepada publik.
Pun Pasal 11 ayat (1) huruf e dari Undang-undang tersebut menyatakan bahwa badan publik wajib menyediakan informasi kepada publik setiap saat terkait "perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga", yang artinya bahwa kontrak dan izin mineral dan batubara merupakan dokumen publik (termasuk Kontrak Karya dan P2PKB).
Terutama industri ekstraktif yang sering digadang berperan besar dalam pembangunan ekonomi, ia banyak melahirkan masalah seperti konflik agraria, perusakan lingkungan, bahkan persoalan korupsi.
Baca Juga:
Bahlil: PBNU Akan Kelola Eks Tambang PT Kaltim Prima Coal (KPC)
Ini erat kaitannya dengan tidak transparannya dokumen pertambangan. Publik tidak bisa mengetahui muatan izin, sehingga konflik kerap muncul belakangan atas dasar ketidaktahuan atau kurang partisipatifnya penyusunan hingga pengeluaran izin usaha.
Tidak transparannya dokumen perjanjian dan perizinan pertambangan melahirkan konflik yang multidimensional.
Mulai dari konflik agraria (perampasan ruang hidup), konflik lingkungan (degradasi hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat), sampai permasalahan korupsi akibat muatan kontrak-kontrak terselubung dalam dokumen perjanjian dan/atau perizinan pertambangan mineral dan batu bara.