Tambangnews.id | Komisi Informasi Pusat memutus bahwa dokumen perizinan maupun perjanjian usaha tambang adalah dokumen publik yang wajib terbuka.
Hal itu terlihat dalam putusan terhadap gugatan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur dengan objek gugatan berupa salinan dokumen Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) lima perusahaan di Pulau Kalimantan yang masa izin dan kontraknya akan berakhir mulai 2021 hingga 2025, hingga catatan perkembangan evaluasi perpanjangan izin berikut notulensi rapat evaluasi tersebut.
Baca Juga:
Pertumbuhan Tinggi, Dirjen ESDM: Masalah Over Supply Listrik di Jawa-Bali Akan Teratasi
Daftar para pihak yang hadir dalam evaluasi perpanjangan izin tersebut juga dituntut untuk terbuka. Upaya perpanjangan izin dan kontrak dianggap harus transparan karena dalam upaya perpanjangan tersebut terjadi renegosiasi hak dan kewajiban dalam sebuah perizinan.
Apabila ia tertutup, tentu berisiko menimbulkan kerugian bagi publik, yang selama ini (sebelum perpanjangan) telah menerima banyak kerugian mulai dari kerusakan lingkungan, perampasan ruang hidup, dan potensi kerugian lainnya.
Juga di pulau lain, di Sumatera Utara tepatnya di Dairi, Serly Siahaan warga Dairi tepatnya di sekitar tambang timah yang dikelola PT. Dairi Prima Mineral (DPM).
Baca Juga:
Bahlil: PBNU Akan Kelola Eks Tambang PT Kaltim Prima Coal (KPC)
Serly Siahaan adalah warga Desa Parongil tempat PT. DPM beroperasi. Adapun objek sengketa informasi yang diajukan adalah salinan dokumen kontrak karya hasil renegosiasi terbaru dan salinan SK Kontrak karya nomor 272.K/30/D/DJB/2018.
Majelis hakim komisioner mengabulkan permohonan informasi pemohon untuk seluruhnya.
Majelis hakim juga membatalkan ketetapan pejabat Kementerian ESDM yang menyatakan informasi yang dimohonkan merupakan permohonan yang dikecualikan.
Dan, menyatakan kontrak karya hasil renegosiasi terbaru antara Kementerian ESDM dengan DPM pada 2017 dan SK kontrak karya soal status operasi produksi DPM merupakan informasi publik yang harus terbuka.
Menjadi menarik kemudian untuk ditelaah, bagaimana dokumen perjanjian maupun pemberian legalitas (perizinan) yang diperjanjikan dan/atau diberikan oleh pemerintah kepada swasta dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) adalah informasi yang harus diketahui publik.
Daulat Publik
Dalam pengelolaan SDA, amanat konstitusi mengatakan bahwa negara mengelola kekayaan (SDA) dari sabang sampai Merauke untuk kemakmuran kita sebesar-besarnya (Pasal 33 UUD 1945).
Negara mengusahakan lahan dan segala hal yang bisa dieksploitasi darinya atas nama kemakmuran kita. Dalam perjalanannya, ditemukan bahwa negara tidak dapat mengusahakan dan mengeksploitasi SDA secara mandiri.
Atas itu, dimungkinkan lahan dari Sabang sampai Merauke dan SDA yang terkandung di dalamnya diusahakan bekerja sama atau memberikan legalitas kepada swasta dengan skema konsesi, kemudian berubah menjadi perjanjian, dan terbaru perizinan.
Secara lebih tersegmen, dalam rezim hukum Pertambangan Minerba (Mineral dan Batu Bara) terbaru dikenal Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai dokumen pemberian izin oleh negara untuk mengusahakan lahan milik negara di sektor pertambangan.
Sederhananya, terjadi peralihan dari rezim perjanjian ke rezim perizinan sejak berlakunya Undang-undang No. 4 Tahun 2009 jo Undang-undang No. 3 Tahun 2020.
Dalam logika kedaulatan negara, peralihan ke rezim perizinan dapat kita pandang sebagai perwujudan supremasi publik atas kepemilikan privat.
Dalam rezim perjanjian, negara berkedudukan sebagai pihak dalam perjanjian berstatus badan hukum privat, sedang dalam rezim perizinan jelas negara berdiri lebih tinggi atau dalam posisi mengontrol eksploitasi.
Hal menarik bahwa dalam ketentuan peralihan Undang-undang No. 4 Tahun 2009 disebutkan bahwa Kontrak Karya yang ada sebelum UU ini berlaku, akan tetap dianggap sah sampai masa perjanjian habis.
Menarik, karena dengan begitu muncul pertanyaan, apakah yang harus dibuka hanyalah dokumen legalitas Usaha Pertambangan dalam rezim perizinan, atau termasuk pula Kontrak Karya serta P2PKB, yang merupakan dokumen warisan rezim perjanjian yang cenderung bersifat privat.
Berkaca pada putusan yang telah disinggung di awal tulisan, jelas bahwa dokumen pertambangan dalam rezim perjanjian pun tetap harus terbuka. Terkait itu, tentu perlu ditegaskan lagi, dan akan coba dilakukan dalam tulisan ini.
Komitmen Internasional
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, kita tidak bisa tidak mengangkat fakta bahwa Indonesia terlibat dalam Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), yang merupakan komitmen beberapa negara.
Keterbukaan kontrak dan izin industri ekstraktif merupakan norma global yang sedang berkembang pesat. Saat ini, sudah lebih dari 44 negara mempublikasikan setidaknya beberapa kontrak atau izin ekstraktif mereka.
EITI sebagai sebuah inisiasi kolektif bertujuan membangun dan mengimplementasikan sebuah standar global bagi transparansi dan akuntabilitas sektor ekstraktif. EITI diasosiasikan sebagai upaya menuju keadaan yang disebut Governance by Disclosure atau pemaparan transparansi sebagai norma global dalam pemerintahan.
Sebagaimana EITI telah muncul sebagai norma internasional, ia menghendaki yang harus transparan adalah pengelolaan bisnis ekstraktif di atas tanah negara, terlepas dari apa bentuk kerja sama atau pemberian legalitasnya.
Berkaca pada fakta bahwa Indonesia terlibat dalam komitmen tersebut, terlepas dari bentuk relasi antara organ pemerintah dengan perusahaan dalam pengelolaan bisnis ekstraktif, ia harus terbuka.
Selain itu, dokumen pertambangan sebagai dokumen publik adalah wujud kedaulatan negara atas SDA yang terkandung di bumi Indonesia dan kedaulatan tersebut adalah perintah konstitusi.
Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Ini artinya ketika pemerintah Indonesia mengadakan perjanjian dengan perusahaan untuk mengelola SDA, pemerintah melakukannya atas nama dan sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.
Agar masyarakat Indonesia dapat meminta pertanggungjawaban pemerintah dan perusahaan atas kesepakatan yang dibuat, rakyat harus diberikan akses terhadap kontrak-kontrak dan dokumen-dokumen perizinan yang memuat rincian transaksi tersebut.
Harus Terbuka
Salah satu hal fundamental dalam penyelenggaraan negara yang terbuka adalah adanya pengakuan atas hak publik atas informasi.
Semakin diakui hak publik atas informasi, tentu semakin terbuka lah penyelenggaraan suatu negara. Dan, semakin terbuka penyelenggaraan negara, semakin dapat ditagih pertanggungjawabannya.
Pembukaan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah menjelaskan bahwa kontrak dan izin yang dibuat antara pemerintah dengan perusahaan harus diumumkan kepada publik.
Pun Pasal 11 ayat (1) huruf e dari Undang-undang tersebut menyatakan bahwa badan publik wajib menyediakan informasi kepada publik setiap saat terkait "perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga", yang artinya bahwa kontrak dan izin mineral dan batubara merupakan dokumen publik (termasuk Kontrak Karya dan P2PKB).
Terutama industri ekstraktif yang sering digadang berperan besar dalam pembangunan ekonomi, ia banyak melahirkan masalah seperti konflik agraria, perusakan lingkungan, bahkan persoalan korupsi.
Ini erat kaitannya dengan tidak transparannya dokumen pertambangan. Publik tidak bisa mengetahui muatan izin, sehingga konflik kerap muncul belakangan atas dasar ketidaktahuan atau kurang partisipatifnya penyusunan hingga pengeluaran izin usaha.
Tidak transparannya dokumen perjanjian dan perizinan pertambangan melahirkan konflik yang multidimensional.
Mulai dari konflik agraria (perampasan ruang hidup), konflik lingkungan (degradasi hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat), sampai permasalahan korupsi akibat muatan kontrak-kontrak terselubung dalam dokumen perjanjian dan/atau perizinan pertambangan mineral dan batu bara.
Permasalahan yang timbul dari tidak transparannya dokumen pertambangan akan dapat diminimalisir apabila publik mendapatkan akses untuk meninjau dokumen-dokumen tersebut.
Ditambah pertambangan merupakan bagian dari bisnis ekstraktif yang mana berkaitan dengan hajat hidup orang banyak maka wajiblah ia diselenggarakan secara partisipatif, yang dalam hal ini terejawantah dengan keterbukaan informasi dokumen pertambangan sebagai dokumen publik.
Lebih lanjut, keterbukaan dokumen perjanjian dan perizinan akan memberi insentif bagi pemerintah dan perusahaan untuk berhati-hati dalam menyusun muatan perjanjian dan perizinan.
Mereka memiliki insentif yang kuat untuk menyepakati ketentuan-ketentuan yang dipandang adil oleh semua, baik itu pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat. [jat]