Hal lain yang menjadi perhatian dari Nakhoda berpengalaman di kapal-kapal tangker besar ini pula adalah soal kurang tepatnya protes China untuk penghentian pengeboran minyak dan gas di laut Natuna Utara di akhir tahun 2021 ini.
“Permintaan itu tidak tepat, karena pengeboran atau pendirian rig di laut Natuna Utara itu masih berada di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Protes China itu hanya berdasarkan 9 garis putus (9 Dash Line) di Laut China Selatan.
Baca Juga:
Hari Maritim Nasional ke-58, Presiden Jokowi: Cara Kita Melihat Laut Harus Berubah
Padahal keabsahan dan legalitas 9 garis putus tidak memiliki dasar hukum internasional dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea, Konvensi PBB tentang Hukum Laut). Dengan demikian tidak dapat diakui secara hukum, legal standing Indonesia secara maritim sangat jelas disana,” tegasnya.
Tindakan protes China di Laut Natuna Utara itu menurut Capt. Hakeng yang juga aktif di kepengurusan Forum Komunikasi Maritim Indonesia (FORKAMI) dan menjabat sebagai Kepala Bidang Pertambangan di perkumpulan tersebut, tindakan negara China tentunya dapat mengganggu stabilitas dan kedaulatan negara. Karena itu pihak pemerintah Indonesia harus dengan tegas menolak permintaan tersebut.
“Seperti telah diatur di dalam UNCLOS, yakni kedaulatan suatu negara atau wilayah laut tertentu diukur berdasarkan jarak dari titik pangkal pulau terluar. Bukan berdasarkan ketentuan lain, termasuk latar belakang sejarah, dari sini saja sudah jelas bahwa wilayah yang disengketakan tersebut 100% merupakan hak bangsa Indonesia guna mengelolanya serta menikmati nilai keekonomian darinyam,” jelasnya.
Baca Juga:
Pemerintah Belum Fokus Wujudkan Indonesia Jadi Poros Maritim Dunia
Indonesia memiliki 111 Pulau Kecil terluar, karena itu negara harus hadir di setiap pulau kecil terluar. Pemerintah juga harus mampu menjaga empat bidang utama dalam pengelolaan pulau terluar antara lain kesejahteraan masyarakat, ketahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan.
Melalui UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran jelas disebutkan bahwa penjaga laut dan lepas pantai memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran, dan fungsi koordinasi di bidang penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran. Penjagaan laut dan pantai tersebut harusnya diwujudkan dalam bentuk Badan Koordinasi Keamanan Laut dan perkuatan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai,
“Peran Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Kepolisian dalam hal ini Polair, KPLP dan Bakamla harus terus disokong pemerintah, baik penambahan kapal, peralatan, dan peningkatan teknologi kemaritimannya. Semua itu untuk menunjang kerja para penjaga kedaulatan negara di sektor maritim,” tutur Capt. Hakeng.