“Jika matahari mulai terbit, maka janganlah salat sampai ia meninggi. Karena ia terbit di antara dua tanduk setan. Dan ketika itu orang-orang kafir bersujud (beribadah) … Dan ketika sudah selesai salat asar, janganlah salat sampai matahari tenggelam. Karena ia tenggelam di antara dua tanduk setan. Dan ketika itu orang-orang kafir bersujud (beribadah).” [8]
Adapun apa yang dimaksud “tanduk setan” itu sendiri? Apakah tanduk setan betulan atau apa maksudnya? Ini dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari,
Baca Juga:
7 Cara Memperbaiki Diri supaya Jadi Pribadi yang Lebih Bermutu
“Adapun perkataan “tanduk setan” ini ditafsirkan oleh Ad-Dawudi bahwa maksudnya adalah tanduk setan secara hakiki. Dan dimungkinkan maknanya adalah kekuatan setan dan sarana-sarana setan untuk menyesatkan manusia. Ini penafsiran yang lebih bagus. Dan pendapat lain bahwa maknanya adalah setan menggabungkan kepalanya dengan matahari ketika ia terbit, agar orang-orang sujud kepadanya. Pendapat lain bahwa di matahari ada setan yang ketika matahari terbit maka ia terbit di antara dua tanduk setan.” [9]
Sehingga, semua penafsiran “tanduk setan” ini merujuk kepada tanduk setan yang hakiki atau sifat-sifat yang termasuk perbuatan setan dalam menyesatkan manusia. Sehingga tidak benar jika “tanduk setan” ini ditafsirkan sebagai individu-individu tertentu dengan mengatakan si Fulan adalah tanduk setan, si Alan adalah tanduk setan.
Kelima, andaikan Nejed adalah nama negeri tertentu sebagaimana yang mereka klaim -padahal tidak demikian-, maka apa dasarnya memastikan bahwa fitnah dan tanduk setan yang dimaksud hadis adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para ulama Nejed rahimahumullah? Mana dalil yang menunjukkan hal ini? Lalu, bagaimana mengetahui mana penduduk Nejed yang demikian dan mana yang bukan? Apakah patokannya hanya perasaan dan sentimen tertentu? Allahul musta’an wa ‘alaihi at-tuklan!
Baca Juga:
4 Ciri Kamu Bermental Baja, Salah Satunya Berani Menghadapi Masalah!
Dan telah dijelaskan bahwa fitnah yang datang dari Nejed atau negeri timur yang disebutkan dalam hadis maksudnya adalah kekufuran, kebid’ahan, dan kesesatan. Lalu, apa kekufuran, kebid’ahan, dan kesesatan yang dibawa oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para ulama Nejed rahimahumullah sehingga mereka dituduhkan sebagai biang fitnah? Padahal realitanya, mereka mendakwahkan umat kepada Al-Qur’an, sunah dengan pemahaman salafus shalih terutama dalam bab akidah. Justru mereka memberantas kesyirikan dan kebid’ahan dengan ilmu bukan hawa nafsu.
Keenam, taruhlah bahwa fitnah dan tanduk setan adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para ulama Nejed rahimahumullah. Maka Ahlussunnah tidak pernah menjadikan mereka sebagai patokan kebenaran serta tidak pernah mendakwahkan umat untuk berfanatik buta kepada mereka. Yang menjadi patokan kebenaran adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Andaikan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka kita tinggalkan pendapat beliau.
Di antara buktinya adalah para ulama Ahlussunnah mereka men-takhrij hadis-hadis dalam Kitabut Tauhid karya Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah. Contohnya kitab “Ad-Durr An-Nadhid fi Takhrij Kitaabit Tauhid” karya Syekh Shalih bin Abdillah Al-Ushaimi hafizhahullah dan kitab “Takhrij Ahadits Muntaqadah fi Kitabit Tauhid” karya Syekh Furaih bin Shalih Al-Bahlal, diberi taqdim (kata pengantar) oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Dan mereka menjelaskan beberapa hadis dha’if yang ada dalam Kitabut Tauhid. Tidak dibela mati-matian ketika yang menulis adalah Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah. Ini bukti kecil bahwa Ahlussunnah tidak pernah mengajak untuk taklid buta kepada beliau.