Akhlak.id | Hadis yang menyebutkan akan adanya fitnah (kerusakan dan kesesatan) di tengah kaum muslimin, di antaranya menyebutkan bahwa fitnah akan datang dari timur tempat munculnya dua tanduk setan. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
“Nabi bersabda dalam keadaan menghadap ke arah timur, ‘Sesungguhnya fitnah (kesesatan) itu datang dari sana. Sesungguhnya fitnah itu datang dari sana. Sesungguhnya fitnah itu datang dari sana. Dari sanalah akan muncul dua tanduk setan.” [1]
Baca Juga:
7 Cara Memperbaiki Diri supaya Jadi Pribadi yang Lebih Bermutu
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Ya Allah, berkahilah kami pada penduduk Syam kami dan pada penduduk Yaman kami.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana dengan Nejed, wahai Rasulullah?” Nabi bersabda, “Ya Allah, berkahilah kami pada penduduk Syam kami dan pada penduduk Yaman kami.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana dengan Nejed, wahai Rasulullah?” Nabi bersabda, “Di sana akan muncul banyak keguncangan dan fitnah. Di sana pula akan muncul tanduk setan.” [2]
Penjelasan hadis
Baca Juga:
4 Ciri Kamu Bermental Baja, Salah Satunya Berani Menghadapi Masalah!
Hadis ini sering dijadikan senjata untuk menyerang para ulama dan dai yang mendakwahkan tauhid dan sunah Nabi. Di antaranya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah. Sebagian orang menisbatkan julukan “dua tanduk setan” kepada beliau, Allahul musta’an! Dengan alasan, karena beliau berasal dari Nejed yang berada di bagian timur Jazirah Arab.
Ini adalah pemahaman yang keliru dalam memahami hadis-hadis di atas. Kita jelaskan dalam beberapa poin:
Pertama, hadis-hadis di atas tidaklah memuji semua penduduk Syam atau Yaman secara keseluruhan. Karena tentu saja penduduk Syam dan Yaman itu bermacam-macam. Ada yang saleh dan ada yang tidak saleh. Sebagaimana perkataan Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu yang masyhur,
“Sesungguhnya suatu negeri (yang suci) tidak membuat penduduknya menjadi suci, namun yang membuat penduduknya menjadi suci adalah amalan mereka sendiri.” [3]
Maka, dengan pola pikir yang sama pula, bukan berarti penduduk yang ada di Nejed semuanya tercela dan semuanya pembuat fitnah. Hadis ini sama sekali tidak menunjukkan demikian. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mengabarkan bahwa akan terjadi fitnah (kekacauan) dari Nejed. Dan seseorang yang dikatakan sesat atau menyimpang bukan karena ia berasal dari Nejed atau tempat lainnya, namun karena keyakinan dan amalan menyimpang yang ia miliki tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kedua, hadis di atas perlu dipahami dengan pemahaman salaf. Karena para salaf tentu lebih memahami apa yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Putra dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, yaitu Salim bin Abdullah bin Umar, beliau berkata,
“Wahai penduduk Irak! Sungguh seringnya kalian bertanya tentang masalah-masalah sepele, dan sungguh beraninya kalian menerjang dosa-dosa besar! Padahal aku telah mendengar dari ayahku, yaitu Abdullah bin Umar, bahwa beliau mengatakan, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya fitnah datangnya dari arah sini, beliau sambil mengarahkan tangannya ke arah timur. Dari sanalah muncul dua tanduk setan.”” [4]
Perhatikan, Salim bin Abdullah bin Umar rahimahullah memahami bahwa yang dimaksud dengan Nejed dan negeri timur adalah Irak.
Ini juga sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat lain dari hadis di atas. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
“Ya Allah, berkahilah kami pada penduduk Syam kami. Ya Allah, berkahilah kami pada penduduk Yaman kami.” Beliau mengulanginya beberapa kali. Pada kali ketiga atau keempatnya, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan Irak?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya di sana terdapat kegoncangan dan fitnah. Dan di sana pula muncul tanduk setan.” [5]
Ketiga, para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan Nejed dalam hadis tersebut adalah Irak dan semua daerah dataran tinggi di sebelah timur Madinah. Mereka juga menjelaskan bahwa yang dimaksud “fitnah” yang muncul dari timur dan Nejed adalah kekufuran, kebid’ahan, dan kesesatan.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah menjelaskan,
“Penduduk negeri timur ketika itu adalah orang-orang kafir. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa fitnah (kesesatan) datang dari arah tersebut. Dan memang realitanya sebagaimana yang beliau kabarkan. Fitnah yang terjadi pertama kali datang dari arah timur. Dan itulah yang menjadi sebab pertikaian di tengah kaum muslimin dan dicintai oleh setan dan ia bergembira dengannya. Demikian juga kebid’ahan muncul dari arah tersebut.”
Al-Khathabi rahimahullah mengatakan, “Nejed adalah semua yang ada di arah timur. Dan Nejed-nya penduduk Madinah adalah Irak dan yang searah dengannya. Karena ia ada di arah timur Madinah. Dan makna “Nejed” adalah semua dataran yang tinggi. Dan Nejed adalah lawan kata ghaur (lembah) yang artinya sesuatu yang rendah. Sehingga Tihamah semuanya adalah lembah dan Makkah termasuk dalam Tihamah.” Sampai sini perkataan Al-Khathabi rahimahullah.
“Dari sini diketahui kekeliruan pendapat dari Ad-Dawudi yang mengatakan bahwa Nejed adalah nama suatu daerah tertentu. Ini tidak benar. Bahkan semua dataran yang tinggi disebut Nejed. Sedangkan yang melandai disebut ghaur.” [6]
Penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah ini sudah cukup jelas dan gamblang walhamdulillah.
Keempat, menafsirkan “dari sanalah muncul dua tanduk setan” dalam hadis bahwa itu adalah person tertentu, ini adalah gagal paham. Karena yang dimaksud dengan “dari sanalah muncul dua tanduk setan” adalah “di sanalah terbitnya matahari“. Dan memang matahari terbit dari arah timur. Sebagaimana ini dengan jelas disebutkan dalam hadis Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Jika hajib (bagian awal) dari matahari telah muncul, maka janganlah salat sampai matahari terlihat. Dan jika hajib (bagian akhir) dari matahari mulai tenggelam, maka janganlah salat hingga ia tenggelam sepenuhnya. Dan janganlah salat di sekitar waktu tersebut, karena ia (matahari) terbit di antara dua tanduk setan.” [7]
Dalam riwayat Ahmad,
“Jika matahari mulai terbit, maka janganlah salat sampai ia meninggi. Karena ia terbit di antara dua tanduk setan. Dan ketika itu orang-orang kafir bersujud (beribadah) … Dan ketika sudah selesai salat asar, janganlah salat sampai matahari tenggelam. Karena ia tenggelam di antara dua tanduk setan. Dan ketika itu orang-orang kafir bersujud (beribadah).” [8]
Adapun apa yang dimaksud “tanduk setan” itu sendiri? Apakah tanduk setan betulan atau apa maksudnya? Ini dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari,
“Adapun perkataan “tanduk setan” ini ditafsirkan oleh Ad-Dawudi bahwa maksudnya adalah tanduk setan secara hakiki. Dan dimungkinkan maknanya adalah kekuatan setan dan sarana-sarana setan untuk menyesatkan manusia. Ini penafsiran yang lebih bagus. Dan pendapat lain bahwa maknanya adalah setan menggabungkan kepalanya dengan matahari ketika ia terbit, agar orang-orang sujud kepadanya. Pendapat lain bahwa di matahari ada setan yang ketika matahari terbit maka ia terbit di antara dua tanduk setan.” [9]
Sehingga, semua penafsiran “tanduk setan” ini merujuk kepada tanduk setan yang hakiki atau sifat-sifat yang termasuk perbuatan setan dalam menyesatkan manusia. Sehingga tidak benar jika “tanduk setan” ini ditafsirkan sebagai individu-individu tertentu dengan mengatakan si Fulan adalah tanduk setan, si Alan adalah tanduk setan.
Kelima, andaikan Nejed adalah nama negeri tertentu sebagaimana yang mereka klaim -padahal tidak demikian-, maka apa dasarnya memastikan bahwa fitnah dan tanduk setan yang dimaksud hadis adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para ulama Nejed rahimahumullah? Mana dalil yang menunjukkan hal ini? Lalu, bagaimana mengetahui mana penduduk Nejed yang demikian dan mana yang bukan? Apakah patokannya hanya perasaan dan sentimen tertentu? Allahul musta’an wa ‘alaihi at-tuklan!
Dan telah dijelaskan bahwa fitnah yang datang dari Nejed atau negeri timur yang disebutkan dalam hadis maksudnya adalah kekufuran, kebid’ahan, dan kesesatan. Lalu, apa kekufuran, kebid’ahan, dan kesesatan yang dibawa oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para ulama Nejed rahimahumullah sehingga mereka dituduhkan sebagai biang fitnah? Padahal realitanya, mereka mendakwahkan umat kepada Al-Qur’an, sunah dengan pemahaman salafus shalih terutama dalam bab akidah. Justru mereka memberantas kesyirikan dan kebid’ahan dengan ilmu bukan hawa nafsu.
Keenam, taruhlah bahwa fitnah dan tanduk setan adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para ulama Nejed rahimahumullah. Maka Ahlussunnah tidak pernah menjadikan mereka sebagai patokan kebenaran serta tidak pernah mendakwahkan umat untuk berfanatik buta kepada mereka. Yang menjadi patokan kebenaran adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Andaikan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka kita tinggalkan pendapat beliau.
Di antara buktinya adalah para ulama Ahlussunnah mereka men-takhrij hadis-hadis dalam Kitabut Tauhid karya Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah. Contohnya kitab “Ad-Durr An-Nadhid fi Takhrij Kitaabit Tauhid” karya Syekh Shalih bin Abdillah Al-Ushaimi hafizhahullah dan kitab “Takhrij Ahadits Muntaqadah fi Kitabit Tauhid” karya Syekh Furaih bin Shalih Al-Bahlal, diberi taqdim (kata pengantar) oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Dan mereka menjelaskan beberapa hadis dha’if yang ada dalam Kitabut Tauhid. Tidak dibela mati-matian ketika yang menulis adalah Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah. Ini bukti kecil bahwa Ahlussunnah tidak pernah mengajak untuk taklid buta kepada beliau.
Sehingga, jelaslah kerancuan pemahaman dari orang-orang yang menggunakan hadis di atas sebagai retorika untuk menyerang dakwah tauhid dan dakwah sunah.
Semoga Allah ta’ala memberi taufik. [jat]