Hal ini cukup mengejutkan di tengah-tengah bonus demografis yang dinikmati Indonesia saat ini. Kondisi tersebut harus menjadi perhatian karena berkurangnya talenta muda di bidang ini akan membahayakan ketersediaan tenaga kerja dan berkurangnya inovasi-inovasi baru yang dibutuhkan untuk mempertahankan produksi dan ketahanan pangan jangka panjang dari negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia ini.
Dengan sensus pertanian yang sedang berlangsung saat ini, sudah saatnya untuk merefleksikan kembali kebijakan pertanian Indonesia untuk meniadakan dampak jangka panjang dari krisis regenerasi.
Baca Juga:
Prabowo Tinjau Langsung Panen Padi di Merauke
Prospek Petani Indonesia yang Tidak Menarik
Ada beberapa alasan yang menyebabkan generasi muda saat ini kehilangan minat di bidang pertanian. Di antara semuanya, ada tiga stigma yang tumpang tindih di sektor ini yang perlu diperhatikan: rendahnya keterampilan dan padat karya, kurang berkembang, dan tidak stabil.
Baca Juga:
Dinas Pertanian Kubu Raya Rencanakan Penanaman Padi 69.462 Ton Tahun 2024
Pertanian sering dikaitkan dengan pekerjaan manual yang menuntut fisik. Hal ini mungkin benar di beberapa daerah di Indonesia. Meskipun ada pengenalan teknologi pertanian yang canggih, mekanisasi dan adopsi teknologi masih cukup rendah, dengan 87,59% rumah tangga petani masih memilih untuk menggunakan metode konvensional dalam bertani.
Hal yang sama berlaku untuk digitalisasi. Temuan ini mungkin berkorelasi dengan rendahnya literasi teknologi di kalangan petani karena kesenjangan usia dan pendidikan, karena banyak petani yang hanya lulus sekolah dasar.
Stagnasi ini kemudian menjadikan lebih sedikitnya ruang untuk perbaikan dan inovasi di dalam komunitas petani. Memang, perusahaan rintisan / startup teknologi pertanian telah bermunculan dalam beberapa tahun terakhir untuk mengatasi masalah ini.