“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan kami untuk mengambil tongkat, cambuk, tali, dan semisalnya yang ditemukan seseorang di jalan, kemudian memanfaatkannya.”
(HR. Abu Daud no. 1717. Hadis ini dha’if karena terdapat perawi bernama Al-Mughirah bin Ziyad Al-Mushili yang dha’if. Hadis ini juga diperselisihkan apakah mauquf kepada Jabir ataukah marfu’. Namun, isi hadis ini diamalkan oleh para ulama karena bersesuaian dengan dalil-dalil lainnya.)
Baca Juga:
Diskusi Hukum Islam Menikahi Sepupu Menguat di Suasana Idulfitri
Maka, mengambil barang temuan di jalan tidaklah mengapa, selama memenuhi ketentuan di atas. Bukan suatu pelanggaran agama. Ini hukumnya boleh. Bahkan, jumhur ulama menganjurkan untuk mengambilnya.
Sehingga tidak boleh meyakini bahwa orang yang mengambil barang temuan akan kualat. Keyakinan ini bertentangan dengan syariat. Andaikan ada orang yang mengambil barang temuan lalu setelah itu Allah beri ia cobaan dengan hilangnya harta, maka itu takdir Allah yang harus diterima dengan rida, bukan karena ia mengambil barang temuan yang diizinkan oleh syari’at. Tidak boleh mengaitkan adanya musibah dengan mengambil barang temuan, padahal tidak ada korelasinya dan tidak ada dalil akan hal ini. Syaikh As-Sa’di mengatakan,
“Tidak boleh menjadikan sesuatu sebagai sebab padahal tidak ada dalilnya dalam syariat atau tidak ada bukti kongkretnya.” (Al-Qaulus Sadid fi Maqashid At-Tauhid, hal. 37)
Baca Juga:
Pimpinan Pusat Salimah Menggelar Webinar Hukum Pernikahan Beda Agama
Namun, boleh saja seseorang tidak mengambil barang temuan, karena jumhur ulama tidak mewajibkan mengambil barang temuan.
Berbeda dengan pendapat Malikiyah yang mengatakan wajib, dengan syarat:
Ada kekhawatiran akan diambil oleh orang jahat yang tidak amanah.