Akhlak.id | Ada anggapan di masyarakat bahwa jika mengambil barang temuan di jalan, nanti akan kualat, yaitu akan tertimpa kesialan berupa hilangnya harta yang lebih besar. Ini keyakinan yang tidak benar dan termasuk khurafat.
Dalam Islam, dibolehkan mengambil barang temuan di jalan. Jika nilainya besar, wajib diumumkan selama 1 tahun. Berdasarkan hadis dari Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Baca Juga:
Diskusi Hukum Islam Menikahi Sepupu Menguat di Suasana Idulfitri
“… kemudian umumkanlah selama satu tahun. Lalu jika tidak ada yang mengakuinya, maka gunakanlah barang tersebut.”
Dalam riwayat lain,
“Jika datang orang yang mengakuinya, lalu ia bisa menyebutkan kulitnya, jumlahnya, dan bungkusnya, maka berikanlah kepadanya. Jika tidak demikian, maka barang tersebut jadi milikmu (setelah 1 tahun).” (HR. Muslim no. 1722)
Baca Juga:
Pimpinan Pusat Salimah Menggelar Webinar Hukum Pernikahan Beda Agama
Jika nilainya kecil, boleh langsung dimiliki dan dimanfaatkan. Berdasarkan hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menemukan kurma di jalan lalu beliau mengambilnya dan bersabda,
“Andai aku tidak khawatir ini adalah harta sedekah, niscaya aku akan memakannya.” (HR. Bukhari no.2431, Muslim no.1071)
Dikuatkan lagi dengan hadis lain dari Jabir radhiyallahu ‘anhu,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan kami untuk mengambil tongkat, cambuk, tali, dan semisalnya yang ditemukan seseorang di jalan, kemudian memanfaatkannya.”
(HR. Abu Daud no. 1717. Hadis ini dha’if karena terdapat perawi bernama Al-Mughirah bin Ziyad Al-Mushili yang dha’if. Hadis ini juga diperselisihkan apakah mauquf kepada Jabir ataukah marfu’. Namun, isi hadis ini diamalkan oleh para ulama karena bersesuaian dengan dalil-dalil lainnya.)
Maka, mengambil barang temuan di jalan tidaklah mengapa, selama memenuhi ketentuan di atas. Bukan suatu pelanggaran agama. Ini hukumnya boleh. Bahkan, jumhur ulama menganjurkan untuk mengambilnya.
Sehingga tidak boleh meyakini bahwa orang yang mengambil barang temuan akan kualat. Keyakinan ini bertentangan dengan syariat. Andaikan ada orang yang mengambil barang temuan lalu setelah itu Allah beri ia cobaan dengan hilangnya harta, maka itu takdir Allah yang harus diterima dengan rida, bukan karena ia mengambil barang temuan yang diizinkan oleh syari’at. Tidak boleh mengaitkan adanya musibah dengan mengambil barang temuan, padahal tidak ada korelasinya dan tidak ada dalil akan hal ini. Syaikh As-Sa’di mengatakan,
“Tidak boleh menjadikan sesuatu sebagai sebab padahal tidak ada dalilnya dalam syariat atau tidak ada bukti kongkretnya.” (Al-Qaulus Sadid fi Maqashid At-Tauhid, hal. 37)
Namun, boleh saja seseorang tidak mengambil barang temuan, karena jumhur ulama tidak mewajibkan mengambil barang temuan.
Berbeda dengan pendapat Malikiyah yang mengatakan wajib, dengan syarat:
Ada kekhawatiran akan diambil oleh orang jahat yang tidak amanah.
Merasa aman dari keserakahan diri sendiri jika barang itu harus diumumkan dulu selama 1 tahun.
Sehingga, ketika tidak terpenuhi dua syarat ini, boleh untuk tidak mengambil barang temuan menurut ulama Malikiyah.
‘Ala kulli haal, dalam syariat Islam, barang temuan di jalan boleh diambil dengan ketentuan-ketentuan di atas, dan boleh juga tidak diambil. Dan ketika seseorang mengambil barang temuan di jalan, baik untuk dimanfaatkan atau untuk diumumkan, tidak boleh diyakini bahwa ia akan kualat dan tidak boleh mengait-ngaitkan musibah dengan ditemukannya barang tersebut. Ini keyakinan yang bertentangan dengan akidah Islam. Adapun mengenai fikih barang temuan secara mendetail, perlu dibahas dalam artikel tersendiri.
Wallahu a’lam. [jat]