Bahkan saat di bus Transjakarta atau KRL dalam perjalan pergi dan pulang dari kantor, buku bahasa Inggris selalu dibacanya.
Beasiswa LPDP dari pemerintah pun dicobanya tapi gagal karena nilai bahasa Inggris. Setelah itu, Nisa mencoba tujuh beasiswa lainnya dalam kurun setahun. Tak ada yang lolos.
Baca Juga:
Raih Gelar Master SDM dari AS, Penerima Beasiswa LPDP Maria Jochu Kembali ke Papua Jadi Lurah
"Tahun kedua, aku keterima beasiswa LPDP. Tapi untuk kampusnya sendiri belum. Kalau di London, rata-rata nilai bahasa Inggris itu harus di angka 7 yang masih jauh dari nilaiku sebelumnya," ujar Nisa.
Masih punya waktu beberapa bulan hingga tenggat waktu yang diberikan kampus pilihannya, Imperial College, ia lantas membulatkan tekad untuk memperdalam ilmu bahasa Inggris-nya.
Resign dari kantor, Nisa hijrah ke Yogyakarta untuk belajar di kampung bahasa Inggris selama tiga bulan dengan modal pas-pasan.
Baca Juga:
Kisah Inspiratif Polisi Sisihkan Gaji Demi Dirikan Sekolah Gratis Anak Yatim di Indramayu
"Di sana aku belajar dari jam 8 pagi sampai 5 sore, lalu lanjut lagi malamnya. Bahasa Inggris benar-benar struggle utamaku," ceritanya.
Meski sudah berminggu-minggu belajar, kemampuan Nisa dinilai oleh mentornya tak menunjukkan perkembangan. Muncul rasa ingin menyerah karena waktu sudah mepet.
"Sempat hopeless, aku sampai nangis di sebuah masjid," kata Nisa yang sangat merasa patah arang kala itu.