Akhlak.id | "Falling to move forward," demikian Nisa Sri Wahyuni merangkum jatuh-bangun perjalananannya meraih beasiswa di luar negeri.
Meski memiliki segudang prestasi, ia harus menemui berbagai tantangan sampai akhirnya bisa berangkat ke Inggris melanjutkan studi S2 di bidang epidemiologi.
Baca Juga:
Raih Gelar Master SDM dari AS, Penerima Beasiswa LPDP Maria Jochu Kembali ke Papua Jadi Lurah
Belum lama ini, Nisa membuat orang kagum dengan kisah inspiratifnya di LinkedIn yang disertai foto dia bersama sang ayah yang berseragam ojek online (ojol) dan momen kelulusannya dari Imperial College London.
Di unggahan tersebut, ia bercerita pencapaian akademisnya mustahil terwujud tanpa dukungan penuh orangtua meski kondisi ekonomi mereka serba terbatas.
Berbincang dengan Wartawan tentang posting-an viralnya, Nisa mengungkapkan perjuangan yang harus dilalui untuk bisa kuliah di Inggris lewat jalur beasiswa.
Baca Juga:
Kisah Inspiratif Polisi Sisihkan Gaji Demi Dirikan Sekolah Gratis Anak Yatim di Indramayu
Tak jarang, perempuan 27 tahun itu terbawa emosi saking kewalahannya belajar, khususnya bahasa Inggris.
Terlahir dari keluarga yang sederhana memotivasi Nisa untuk belajar dengan tekun.
Ayahnya, Sukatno, merantau ke Jakarta dari Pacitan, Jawa Timur, saat usia belia dan bekerja serabutan sebagai tukang bersih-bersih sebelum menjadi petugas keamanan di sebuah sekolah swasta.
Pensiun, ia lalu mencari nafkah untuk keluarga sebagai supir ojol.
Ibunya, Sunarsih, juga perantau dari Jawa Timur, tepatnya Ngawi. Di Ibukota, ia menjadi asisten rumah tangga (ART). Baik ayah maupun ibunya hanya bisa menyelesaikan pendidikan formal sampai bangku sekolah dasar.
"Sebenarnya semangat Mama dan Bapak yang menginspirasiku untuk bisa menjaga amanah mereka. Karena mereka selalu bilang, walau cuma lulusan SD, mereka berharap anak-anaknya punya pendidikan lebih baik," ungkap anak tengah dari tiga bersaudari ini.
Amanah tersebut dijalani betul oleh Nisa. Berprestasi di SMA, ia mendapat beasiswa S1 dari Universitas Indonsia (UI) pada 2013 untuk mengenyam pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Berbagai pencapaian kembali diraih Nisa. Mulai dari mengikuti program pertukaran pelajar internasional, juara ketiga duta kesehatan kampus, hingga juara kedua Mahasiswa Berprestasi UI.
Hari-harinya juga disibukkan dengan penelitian. Ditambah lagi, ia dipercayakan sebagai asisten dosen.
Dengan segala kesibukannya, Nisa berhasil merampungkan studinya hanya dalam kurun 3,5 tahun dan lulus dengan status cumlaude pada 2017.
Terlepas dari deretan prestasi tersebut, kemampuan berbahasa Inggris diakui perempuan kelahiran 17 Juni 1995 itu sebagai salah satu kelemahannya.
Namun, itu tak mengurungkan niat Nisa untuk kuliah di luar negeri lewat jalur beasiswa. Sebagai persiapan, ia tekun mengasah bahasa Inggrisnya sembari bekerja setelah lulus kuliah.
Bahkan saat di bus Transjakarta atau KRL dalam perjalan pergi dan pulang dari kantor, buku bahasa Inggris selalu dibacanya.
Beasiswa LPDP dari pemerintah pun dicobanya tapi gagal karena nilai bahasa Inggris. Setelah itu, Nisa mencoba tujuh beasiswa lainnya dalam kurun setahun. Tak ada yang lolos.
"Tahun kedua, aku keterima beasiswa LPDP. Tapi untuk kampusnya sendiri belum. Kalau di London, rata-rata nilai bahasa Inggris itu harus di angka 7 yang masih jauh dari nilaiku sebelumnya," ujar Nisa.
Masih punya waktu beberapa bulan hingga tenggat waktu yang diberikan kampus pilihannya, Imperial College, ia lantas membulatkan tekad untuk memperdalam ilmu bahasa Inggris-nya.
Resign dari kantor, Nisa hijrah ke Yogyakarta untuk belajar di kampung bahasa Inggris selama tiga bulan dengan modal pas-pasan.
"Di sana aku belajar dari jam 8 pagi sampai 5 sore, lalu lanjut lagi malamnya. Bahasa Inggris benar-benar struggle utamaku," ceritanya.
Meski sudah berminggu-minggu belajar, kemampuan Nisa dinilai oleh mentornya tak menunjukkan perkembangan. Muncul rasa ingin menyerah karena waktu sudah mepet.
"Sempat hopeless, aku sampai nangis di sebuah masjid," kata Nisa yang sangat merasa patah arang kala itu.
Ibunya pun menyusul untuk mengibur Nisa.
Pilihan yang dimiliki Nisa hanya dua, menyerah atau tetap mengikuti tes bahasa Inggris. Opsi kedua yang dipilihnya.
Hasil tes pun keluar, tapi nilainya hanya kurang 0,5 untuk memenuhi syarat.
Namun ternyata, kampus memiliki kebijakan keringanan nilai bila pendaftar mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap kesehatan masyarakat.
Ia lantas meminta supervisinya di tempat kerja terdahulu untuk menuliskan recommendation letter yang menyatakan program akses kesehatan kanker yang diusung oleh Nisa saat berkeja membuahkan hasil.
"Alhamdulillah, aku lolos saat H-3 minggu sebelum kelas pertama dimulai. Orangtua langsung sujud. Mungkin ini nggak akan kejadian, kalau aku memilih menyerah," kata.
Perjuangannya dengan bahasa Inggris tak berhenti di situ.
Saat kuliah, Nisa sempat kewalahan untuk memahami perkataan para dosennya yang berbahasa Inggris dengan logat dari negara masing-masing. Seiring berjalan waktu, ia bisa beradaptasi dengan kondisi tersebut.
Sekembalinya dari negeri Ratu Elizabeth II pada 2020, Nisa pulang dengan gelar S2 di bidang epidemiologi dan memboyong sejumlah prestasi.
Salah satunya duta MSc Epidemiology, sebuah program kolaborasi UNICEF dengan kampusnya. Ia terpilih dengan seorang rekannya yang berasal dari Inggris.
Kini, Nisa bekerja di sebuah lembaga kesehatan internasional dengan tugas khusus menangani vaksinasi Covid-19.
Keluarganya tetap hidup sederhana dan ayahnya masih menikmati pekerjaannya sebagai driver ojol. [jat]