Model ini juga biasanya dicirikan dengan pemasaran barang konsumer melalui agen atau "door-to-door" di pasar menengah ke bawah (Fairbourne, 2007).
Pada prinsipnya microfranchise atau waralaba mikro adalah sama seperti waralaba konvensional yang melibatkan franchisor dan franchisee. Franchisor memberikan bantuan dan dukungan berkelanjutan kepada franchisee dari sisi produksi, pemasaran dan keuangan.
Baca Juga:
Industri Nikel Sulteng Dorong UMKM di Sekitar Tambang
Sementara franchisee wajib mengikuti ketentuan yang telah disepakati di dalam perjanjian waralaba.
Perbedaannya adalah microfranchise terutama ditujukan untuk franchisee yang dari segi kekuatan finansial terbilang lemah dan berasal dari kalangan ekonomi informal.
Pada lingkup yang lebih luas, franchisee yang berasal dari negara berkembang dan melihat peluang serta setuju untuk mereplikasi usaha di dalam satu lingkungan geografi tertentu (Combs dkk, 2011).
Baca Juga:
Wujudkan Program Elektrifikasi Gaya Hidup di Sektor UMKM, PLN Bantu Pengrajin Ulos Gunakan Mesin Tenun Elektrik
Dalam model bisnis waralaba, brand adalah aset tidak berwujud yang amat bernilai karena kemampuannya untuk menarik konsumen.
Oleh karenanya dukungan yang diberikan franchisor tak akan dipahami oleh franchisee tanpa pemahaman franchisee terhadap brand dan relasi yang baik antara franchisor dan franchisee.
Kenyataan di lapangan memang tidak seindah harapan. Penelitian pada microfranchise di Brasil memperlihatkan microfranchise memiliki pandangan yang rendah terhadap nilai brand (brand value) daripada conventional franchisee (Melo dkk, 2014).