UMKM.WahanaNews.co | Walau sektor UMKM di Indonesia hampir menguasai 99% unit usaha di Indonesia, tak dapat dimungkiri bahwa 77%-nya merupakan sektor ekonomi informal atau ekonomi bayangan (shadow economy) (Shinozaki, 2022).
Ekonomi informal dicirikan sebagai usaha yang kerap kali menghindari pemenuhan pajak, bergantung pada pengelolaan keuangan yang informal dan kekurangan insentif serta kecakapan untuk ekspansi usaha.
Baca Juga:
Industri Nikel Sulteng Dorong UMKM di Sekitar Tambang
Jenis usaha ini juga memiliki kekhasan yang melekat pada figur wirausaha yang bertanggung jawab mengeksekusi dan menentukan sasaran.
Wirausaha ini biasa "learning by doing and learning by failure".
Di satu sisi karakteristik ini memberikan fleksibilitas, tetapi di sisi lain memperlihatkan kerentanan karena kekurangan pengetahuan dan perencanaan (Sohns dan Diez, 2018).
Baca Juga:
Wujudkan Program Elektrifikasi Gaya Hidup di Sektor UMKM, PLN Bantu Pengrajin Ulos Gunakan Mesin Tenun Elektrik
Berdasarkan jenis, Schneider (2012) mengklasifikasi ekonomi informal menjadi dua tipe:
pertama, aktivitas ilegal dengan transaksi moneter seperti perdagangan barang curian atau obat-obatan dan aktivitas dengan tanpa transaksi moneter seperti penyelundupan.
Kedua, aktivitas legal yang menghindari pajak, melalui pendapatan yang tidak dilaporkan.
Sesungguhnya tidak ada definisi standar mengenai ekonomi informal, namun dapat diartikan sebagai semua produksi barang dan jasa legal berbasis pasar yang sengaja disembunyikan dari otoritas publik untuk menghindari pembayaran pajak, kontribusi jaminan sosial, dan kepatuhan terhadap standar pasar tenaga kerja yang sah dan kewajiban administratif tertentu (Schneider, 2012).
Mengingat demikian besar proporsi UKM yang tergolong ekonomi informal, maka agar jenis usaha ini dapat memberikan nilai tambah bagi negara, operasionalisasinya perlu didorong untuk "diformalkan" dan menerapkan digitalisasi.
Dengan itu mereka dapat memperoleh akses e-dagang, mengadministrasi bisnis secara digital, dapat memperoleh akses informasi yang lebih baik, memperkuat jejaring, menawarkan peluang pasar baru secara global, mengurangi biaya logistik dan administrasi, melebarkan peluang pendanaan melalui mekanisme peer-to-peer lending, dan memungkinkan inovasi bisnis yang lebih besar (OECD, 2021).
Microfranchise
Selain didorong untuk "diformalkan" dan menerapkan digitalisasi, salah satu cara mengangkat derajat ekonomi informal adalah dengan menerapkan microfranchise (Awuh & Dekker, 2020; Melo dkk, 2021; Camenzuli & McKague, 2014).
Microfranchise adalah model yang biasanya dikaitkan dengan kolaborasi antara ekonomi high-income formal dengan low informal.
Sebagian kalangan memandang bahwa model ini bersifat eksploitatif dan eksklusif, menguntungkan franchisor (pewaralaba atau pemilik waralaba) tetapi tidak bagi franchisee (terwaralaba atau mitra pewaralaba).
Microfranchise adalah pengembangan dari conventional franchise tetapi berfokus pada penciptaan peluang untuk wirausaha informal yang "lemah" untuk memiliki dan mengelola bisnis sendiri.
Model ini juga biasanya dicirikan dengan pemasaran barang konsumer melalui agen atau "door-to-door" di pasar menengah ke bawah (Fairbourne, 2007).
Pada prinsipnya microfranchise atau waralaba mikro adalah sama seperti waralaba konvensional yang melibatkan franchisor dan franchisee. Franchisor memberikan bantuan dan dukungan berkelanjutan kepada franchisee dari sisi produksi, pemasaran dan keuangan.
Sementara franchisee wajib mengikuti ketentuan yang telah disepakati di dalam perjanjian waralaba.
Perbedaannya adalah microfranchise terutama ditujukan untuk franchisee yang dari segi kekuatan finansial terbilang lemah dan berasal dari kalangan ekonomi informal.
Pada lingkup yang lebih luas, franchisee yang berasal dari negara berkembang dan melihat peluang serta setuju untuk mereplikasi usaha di dalam satu lingkungan geografi tertentu (Combs dkk, 2011).
Dalam model bisnis waralaba, brand adalah aset tidak berwujud yang amat bernilai karena kemampuannya untuk menarik konsumen.
Oleh karenanya dukungan yang diberikan franchisor tak akan dipahami oleh franchisee tanpa pemahaman franchisee terhadap brand dan relasi yang baik antara franchisor dan franchisee.
Kenyataan di lapangan memang tidak seindah harapan. Penelitian pada microfranchise di Brasil memperlihatkan microfranchise memiliki pandangan yang rendah terhadap nilai brand (brand value) daripada conventional franchisee (Melo dkk, 2014).
Mereka juga kekurangan pelatihan dan memiliki pemahaman yang lemah mengenai sistem waralaba. Latar belakang ini yang kadang menyulitkan franchisor menyediakan dukungan kepada mitra franchisee.
Karakteristik ini cenderung menghasilkan rantai waralaba yang lebih lemah pada tingkat dukungan waralaba dan persepsi brand di pasar konsumen.
Namun yang perlu diingat bahwa ukuran keberhasilan microfranchise adalah pada kemampuannya menyediakan produk secara ekonomis dan sosial dengan cara yang berkelanjutan (sustainable).
Ini berbeda dengan conventional franchise yang dievaluasi berdasarkan pertumbuhan dan skala pengembalian secara komersial.
Tim Microfranchise
Menanggapi kesulitan yang dihadapi, sejumlah pemerhati waralaba mengusulkan pembentukan microfranchise berbasis kelompok atau tim. Microfranchise kelompok ini diartikan sebagai proses di mana lebih dari satu orang memiliki dan berpartisipasi dalam pengelolaan bisnis waralaba.
Tim yang dibentuk memiliki pandangan kolektif untuk berbagi tujuan bersama, melakukan tugas, dan berinteraksi sosial dalam konteks organisasi.
Terdapat lima keunggulan membentuk microfranchise berbasis tim (Melo, dkk, 2014).
Pertama, melengkapi kecakapan (skill) yang dibutuhkan. Kelompok yang dibentuk dapat menutupi lemahnya kualitas individu yang terlibat jika dikelola sendiri.
Kedua, pengumpulan ide dan inovasi. Kelompok akan memberikan kontribusi ide inovasi yang lebih banyak terutama ketika menghadapi tantangan yang membutuhkan solusi.
Ketiga, jam operasional yang terus-menerus. Terdapat banyak tugas yang terlibat ketika memulai dan mengoperasikan microfranchise yang baru.
Dengan kelompok, pembagian tugas dapat dilakukan sehingga bisnis dapat terus berjalan tanpa ada aktivitas yang terbengkalai.
Keempat, modal awal per orang yang lebih rendah. Kendala keterbatasan modal ketika memulai microfranchise dapat ditanggulangi dengan kelompok karena akan menekan dana yang mesti dikeluarkan.
Kelima, keamanan yang lebih baik. Kelompok akan memberikan rasa aman bagi personil yang terlibat apalagi jika microfranchise terdiri atas para wanita.
Jalan membangun microfranchise memang tidak mudah dan berliku, namun tidak ada salahnya mulai dirintis sejak dini dengan perencanaan yang sistematis.
Keberhasilan microfranchise dapat mengangkat ekonomi informal agar lebih berdaya saing dan tahan menghadapi turbulensi lingkungan bisnis yang kian tidak menentu.[zbr]