Sesungguhnya tidak ada definisi standar mengenai ekonomi informal, namun dapat diartikan sebagai semua produksi barang dan jasa legal berbasis pasar yang sengaja disembunyikan dari otoritas publik untuk menghindari pembayaran pajak, kontribusi jaminan sosial, dan kepatuhan terhadap standar pasar tenaga kerja yang sah dan kewajiban administratif tertentu (Schneider, 2012).
Mengingat demikian besar proporsi UKM yang tergolong ekonomi informal, maka agar jenis usaha ini dapat memberikan nilai tambah bagi negara, operasionalisasinya perlu didorong untuk "diformalkan" dan menerapkan digitalisasi.
Baca Juga:
Industri Nikel Sulteng Dorong UMKM di Sekitar Tambang
Dengan itu mereka dapat memperoleh akses e-dagang, mengadministrasi bisnis secara digital, dapat memperoleh akses informasi yang lebih baik, memperkuat jejaring, menawarkan peluang pasar baru secara global, mengurangi biaya logistik dan administrasi, melebarkan peluang pendanaan melalui mekanisme peer-to-peer lending, dan memungkinkan inovasi bisnis yang lebih besar (OECD, 2021).
Microfranchise
Selain didorong untuk "diformalkan" dan menerapkan digitalisasi, salah satu cara mengangkat derajat ekonomi informal adalah dengan menerapkan microfranchise (Awuh & Dekker, 2020; Melo dkk, 2021; Camenzuli & McKague, 2014).
Baca Juga:
Wujudkan Program Elektrifikasi Gaya Hidup di Sektor UMKM, PLN Bantu Pengrajin Ulos Gunakan Mesin Tenun Elektrik
Microfranchise adalah model yang biasanya dikaitkan dengan kolaborasi antara ekonomi high-income formal dengan low informal.
Sebagian kalangan memandang bahwa model ini bersifat eksploitatif dan eksklusif, menguntungkan franchisor (pewaralaba atau pemilik waralaba) tetapi tidak bagi franchisee (terwaralaba atau mitra pewaralaba).
Microfranchise adalah pengembangan dari conventional franchise tetapi berfokus pada penciptaan peluang untuk wirausaha informal yang "lemah" untuk memiliki dan mengelola bisnis sendiri.