Taman di dekat tendanya adalah tempat dia menanam makanannya sendiri. Besi jemuran yang diletakkan antara pohon dan pagar melindungi petak kebun sayurannya dari para penyusup.
Pohon nangka yang menjulang tinggi di atas tendanya, ujarnya, membuatnya cukup teduh, dan dia tidak pernah merasa tidak nyaman - meskipun suhu panas dan kelembapan tropis Singapura membuat terik.
Baca Juga:
Produksi Beras Meningkat, Bapanas Pastikan Petani Tetap Untung Lewat Harga Gabah Resmi
Kesepian juga tidak pernah menjadi masalah, katanya. Dia menyibukkan diri merawat kebunnya, meskipun itu, tambahnya, dipermudah oleh pertumbuhan yang baik.
Aspek terburuk dari hidup di hutan, ujarnya, adalah tikus. Mereka akan menemukan jalan mereka ke tempat perlindungannya dan mengunyah pakaiannya.
Dia juga bekerja di berbagai pekerjaan sampingan ketika dia bisa mendapatkannya.
Baca Juga:
Percepat Swasembada Pangan, Wapres Raka ke NTT Temui Petani Kolisia Sikka
Oh terkadang menggunakan uang yang diperolehnya untuk naik feri ke Batam, pulau kecil di negara tetangga, Indonesia. Di sanalah dia bertemu dengan Tacih dan mereka memiliki seorang anak perempuan.
Namun, setiap kunjungan rutin akhir pekannya ke Batam, Oh kembali ke rumah hutannya di Singapura.
Seperti keluarganya di Singapura, istri dan anak perempuan Oh, yang kini berusia 17 tahun, mengatakan mereka tidak tahu bagaimana dia hidup.