Hitungannya, Kementerian Keuangan mencatat penerimaan dari bea keluar sebesar Rp10,7 triliun selama kuartal I 2022. Angka itu tumbuh sebanyak 132,22 persen (yoy) dibandingkan kuartal I tahun sebelumnya.
Pertumbuhan bea keluar itu didorong oleh ekspor komoditas produk kelapa sawit dan tembaga. Dengan asumsi proporsi ekspor CPO mencapai 40 persen sampai 50 persen, maka penerimaan yang disumbang dari ekspor komoditas itu mencapai Rp4 triliun sampai Rp5 triliun atau berada di kisaran Rp1,3 triliun sampai 1,6 triliun tiap bulannya.
Baca Juga:
Harga TBS Kaltim Naik jadi Rp2.490,52 Per Kg
Nah, untuk meminimalkan kerugian tersebut, pemerintah perlu memanfaatkan momentum pelarangan ekspor ini dengan segera memperbaiki tata niaga CPO dan produk turunannya, sehingga stok minyak goreng dalam negeri melimpah dan harganya pun turun.
Selanjutnya, pemerintah bisa kembali membuka keran ekspor CPO dan produk turunannya. Selain itu, kata Yusuf, untuk memastikan kebutuhan dalam negeri terpenuhi, maka membuka pintu ekspor bisa dikombinasikan dengan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO).
Baca Juga:
Harga TBS Kaltim Naik jadi Rp2.469,23/kg
"Untuk kerugian pasti ada, namun ini adalah ongkos yang harus ditanggung oleh pemerintah untuk sementara waktu," jelasnya.
Di samping potensi Malaysia bisa merebut posisi Indonesia dalam urusan ekspor dan produsen CPO, Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan larangan ekspor CPO dapat membuat Malaysia mendapatkan 'durian runtuh' beberapa kali.
Pertama, harga CPO pasca pelarangan ekspor sempat naik 9,8 persen dibanding satu bulan yang lalu. Harga CPO pada Jumat (6/5) kemarin tercatat 6.400 ringgit per ton.