"Jadi memang kerugian besar jika larangan ekspor CPO ini dilanjutkan," ujar Nailul kepada CNNIndonesia.com, Senin (9/5).
Walaupun, ia mengakui mengambil alih pangsa pasar Indonesia sebanyak 30 persen adalah tugas berat. Sebagai perbandingan, data dari Malaysian Palm Oil Board (MPOB), produksi CPO mereka sepanjang 2021 hanya mencapai 18,12 juta ton, sedangkan Indonesia 46,88 juta ton.
Baca Juga:
Harga TBS Kaltim Naik jadi Rp2.490,52 Per Kg
"Makanya saya rasa akan ada kekurangan pasokan dengan larangan ekspor CPO dari Indonesia ini. Bisa jadi harga CPO global akan naik," kata Nailul
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut Malaysia memang bisa menggeser posisi Indonesia dalam urusan ekspor CPO. Tetapi, itu membutuhkan waktu yang panjang.
Jika melihat perbandingan produksi tadi, Malaysia harus meningkatkan sekitar 2 kali lipat produksinya jika ingin menggantikan Indonesia sebagai produsen utama CPO.
Baca Juga:
Harga TBS Kaltim Naik jadi Rp2.469,23/kg
"Untuk ekspor pun demikian, diperlukan peningkatan jika Malaysia ingin menggeser posisi Indonesia," imbuhnya.
Selain itu, menurut Yusuf, larangan ekspor CPO ini bukanlah kebijakan jangka panjang dari Indonesia. Artinya, jika aliran pasokan minyak goreng dalam negeri sudah mencukupi, secara bertahap pemerintah akan membuka kembali keran ekspor dari CPO dan produk turunannya.
Yusuf menuturkan kalau pun Malaysia bisa mengambil alih posisi Indonesia, maka penerimaan bea keluar produk sawit yang hilang hingga Rp1,3 triliun hingga Rp1,6 triliun per bulan dari hasil ekspor CPO RI yang lari ke negara tetangga.