Terpisah, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Riyanto juga menyoroti pernyataan Bank Dunia (World Bank).
Menurutnya, pernyataan itu kurang tepat dan tidak mencerminkan semangat petani yang setiap hari melakukan produksi. Baginya, kebijakan impor disaat harga beras naik bukanlah solusi dan hanya melukai perasaan petani.
Baca Juga:
Dua Kecamatan ‘Clear’ Rekapitulasi, Ketua KPU Kota Bekasi Klaim Pleno Terbuka Kondusif
"Jangan begitu harga beras naik, lantas hanya memberi solusi impor. Kita jangan membiarkan impor beras terbuka luas yang membuat harga jatuh lalu menyebabkan petani malas bertani. Ini keliru menurut saya," ujarnya.
Riyanto mengatakan, harga beras di Indonesia masih berada di titik normal dan masih dalam jangkauan daya beli masyarakat. Adapun faktor kenaikan yang selama ini terjadi disebabkan beberapa faktor. Di antaranya masalah distribusi dan musiman saja.
"Tidak bisa selesai hanya dengan impor. Jadi tidak benar harga beras kita paling mahal," katanya .
Baca Juga:
Mulai Minggu Ini, Deretan Film Blockbuster Big Movies Platinum GTV Siap Temani Akhir Tahunmu!
Sebagaimana diketahui, Indonesia membuka keran impor kedelai sejak 1998, berkaitan dengan kesepakatan yang tertuang dalam letter of intent IMF.
Hal itu merupakan bagian dari paket penyehatan ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisis ekonomi. Lembaga ini menuntut Indonesia membuka akses pada perdagangan bebas.
"Nah, kita jangan mengulangi rekomendasi yang sama untuk beras versi World Bank. Utamanya membuka keran impor beras dan pangan lainnya secara luas. Kemandirian panganlah yang harus kita perkuat dengan peningkatan produksi dan memberi subsidi yang layak bagi petani serta proteksi terhadap komoditi pertanian agar petani punya insentif untuk berproduksi," jelasnya.