Fisuleri.id | Laporan Bank Dunia atau World Bank menyebut harga beras di Indonesia yang paling mahal se-ASEAN selama satu dekade terakhir. Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan menyangkal pernyataan itu. Zulkifli menilai bahwa data tersebut salah.
"Siapa bilang? enggak! Cek aja coba di Google, BPS Singapura tuh harga beras berapa. Berarti data World Bank nggak valid? ya saya nggak ngatain (data salah) tapi tidak ya (mahal) cek saja," ujar pria yang akrab disapa Zulhas itu kepada wartawan di Bogor, Jumat (23/12/2022).
Baca Juga:
Jakarta dan Kota-Kota Satelit Bersatu, Transformasi Besar di Depan Mata
Senada, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengatakan mahal atau murahnya harga beras seharusnya dilihat dari tingkat daya beli masyarakat.
"Beras itu bukan hanya semata-mata harganya. Tapi daya beli masyarakat. Yang penting itu daya beli masyarakat bisa," ucap Arief.
Arief juga mengaku sudah memastikan harga beras di Indonesia bukan yang termahal se-ASEAN. Menurutnya, selama harga beras masih bisa dijangkau atau dibeli masyarakat maka tidak ada masalah.
Baca Juga:
Jalan Langkat-Karo Kembali Tertimbun Longsor, Kendaraan Tak Bisa Melintas
"Kemarin kita sudah konfirmasi bahwa harga beras kita itu tidak yang tertinggi di ASEAN," tuturnya.
Sebelumnya Bank Dunia menyebut harga beras di Indonesia jauh di atas harga beberapa negara tetangga seperti di Filipina, Vietnam hingga Thailand. Hal itu menjadi salah satu pendorong kenaikan inflasi harga pangan domestik.
Bank Dunia mengatakan harga beras di Indonesia 28% lebih tinggi dari harga di Filipina, serta lebih mahal dunia kali lipat dari harga di Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Thailand.
Terpisah, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Riyanto juga menyoroti pernyataan Bank Dunia (World Bank).
Menurutnya, pernyataan itu kurang tepat dan tidak mencerminkan semangat petani yang setiap hari melakukan produksi. Baginya, kebijakan impor disaat harga beras naik bukanlah solusi dan hanya melukai perasaan petani.
"Jangan begitu harga beras naik, lantas hanya memberi solusi impor. Kita jangan membiarkan impor beras terbuka luas yang membuat harga jatuh lalu menyebabkan petani malas bertani. Ini keliru menurut saya," ujarnya.
Riyanto mengatakan, harga beras di Indonesia masih berada di titik normal dan masih dalam jangkauan daya beli masyarakat. Adapun faktor kenaikan yang selama ini terjadi disebabkan beberapa faktor. Di antaranya masalah distribusi dan musiman saja.
"Tidak bisa selesai hanya dengan impor. Jadi tidak benar harga beras kita paling mahal," katanya .
Sebagaimana diketahui, Indonesia membuka keran impor kedelai sejak 1998, berkaitan dengan kesepakatan yang tertuang dalam letter of intent IMF.
Hal itu merupakan bagian dari paket penyehatan ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisis ekonomi. Lembaga ini menuntut Indonesia membuka akses pada perdagangan bebas.
"Nah, kita jangan mengulangi rekomendasi yang sama untuk beras versi World Bank. Utamanya membuka keran impor beras dan pangan lainnya secara luas. Kemandirian panganlah yang harus kita perkuat dengan peningkatan produksi dan memberi subsidi yang layak bagi petani serta proteksi terhadap komoditi pertanian agar petani punya insentif untuk berproduksi," jelasnya.