4. Tidak ada indikator tetap terkait kondisi objektif
Soal kondisi objektif calon pengantin, Halim menegaskan bahwa hal ini tidak bisa digeneralisir. Oleh sebab itu, besar peran hakim Pengadilan Agama untuk memutuskan apakah kedua mempelai di Bantaeng berhak mendapat dispensasi atau tidak.
Baca Juga:
Kalimantan Selatan Tuan Rumah, Ini Arti dan Makna Logo Resmi HPN 2025
Nah, kemabli ke tadi, kadang ada orang yang cepat dewasa, kalau dulu org 15 tahun mungkin belum cukup dewasa, lambat dewasanya. Nah sekrh kebalik. Mungkin sekrg lebih cepat dewasanya. Maka Islam melihat ketentuan umum, yaitu ketika balig dan berakal baru bisa melaksanakan perkawinan. Tetapi jauh dari itu pertimbangan laya atau tidak harus dilihat dari kondisi objektif kedua mempelai itu.
“Perkara kondisi psikologis atau sosiologis itu gak bisa dipukul rata. Kalau dulu orang tumbuh dewasanya lambat, tapi sekarang terbalik. Di Bantaeng juga, saya gak tahu pasti ya, mungkin saja di sana ada nilai adat yang hidup, seperti memperkokoh ketahanan keluarga, saya tidak tahu pasti. Yang jelas ini tergantung kepada kebijaksanaan hakim,” beber Halim.
5. Unsur darurat bisa menjadi pertimbangan hakim
Baca Juga:
Pemkab Dairi Siap Dukung Gugus Tugas Polri Sukseskan Ketahanan Pangan
Salah satu pertimbangan agar hakim Pengadilan Agama memberikan dispensasi adalah aspek kedaruratan. Pada konteks inilah kasus di Bantaeng menjadi menarik. Pasalnya, apa benar perkara tidak berani tidur sendirian di kala malam menjadi unsur darurat sehingga hakim mengizinkan dua sejoli itu menikah.
“Dalam keadaan darurat, dispensasi bisa diberikan, makanya itu menjadi pengecualian. Tapi ini lagi-lagi ditentukan oleh hakim. Dia melihat berdasarkan keterangan saksi, apakah lebih banyak mudarat atau manfaat. Kalau sang anak pendidikan belum tuntas, ekonomi belum mapan, psikologis belum matang, itukan bakal lebih banyak mudaratnya. Apalagi alasannya karena takut tidur sendirian, masa sih nikah itu menjadi satu-satunya jalan?,” paparnya.
6. Kurangnya peran lembaga negara untuk mensosialisasikan undang-undang pernikahan