AnugerahNews.id | Jagat maya diramaikan dengan keputusan dua sejoli di Kecamatan Bantaeng, Sulawesi Selatan, yang memutuskan untuk menikah pada usia belia. Umur mereka tidak terpaut jauh, laki-laki berumur 15 tahun dan perempuan 14 tahun.
Karenanya, tidak ada satupun dari calon mempelai yang memenuhi syarat minimal usia sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
Baca Juga:
Pemkab Dairi Siap Dukung Gugus Tugas Polri Sukseskan Ketahanan Pangan
Sebagaimana telah diberitakan, pasangan pelajar sekolah menengah pertama (SMP) itu segera mengajukan dispensasi kepada Pengadilan Agama Bantaeng sebab Kantor Urusan Agama (KUA) di kecamatan setempat menolak yang bersangkutan untuk dinikahkan. Tentunya pengajuan dispensasi diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) UU RI No 1974 tentang Perkawinan.
Selain perkara usia, aspek lain yang diperkarakan adalah alasan calon mempelai perempuan, yakni dalam kondisinya sebagai anak yatim dan kerap ditinggal sang ayah keluar kota, dirinya merasa takut untuk tidur sendirian di malam hari.
Lantas, apakah Islam membolehkan pernikahan di bawah umur? Bagaimana jika mereka mengalami banyak ketidaksiapan berumah tangga? Atau bagaimanakah sesungguhnya Islam mengatur dispensasi sebagaimana pengajuan calon pengantin? Yuk baca penjelasannya dari ahli.
Baca Juga:
Polsek Bagan Sinembah Gelar Kegiatan Launching Gugus Tugas Polri dan Ketapang.
1. Pernikahan di Indonesia harus disesuaikan dengan agama
Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Abdul Halim mengatakan, hukum pernikahan di Indonesia harus kembali kepada agama yang dipeluk oleh masing-masing calon pengantin.
“Melihat kasus di Bantaeng ya, sebagai orang hukum, saya perlu mengawali dari UU RI No 1 Tahun 1974. Dalam pasal 2 disebut kalau perkawinan adalah sah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. Kalau dalam Islam poin pentingnya adalah sudah balig dan berakal. Jumhur ulama sepakat pada jarak usia 16-18 tahun,” katanya saat dihubungi oleh IDN Times, Senin (17/4).
2. Pernikahan dalam Islam juga harus sesuai aturan pemerintah
Kendati begitu, Halim tetap menekankan keselarasan antara aturan pernikahan yang diatur Islam dan sebagaimana diatur oleh negara.
“Nah, dalam pernikahan, gak ada istilah sah menurut agama atau sah menurut negara. Yang benar itu adalah sah menurut keduanya. Kalau menurut agama saja, nanti tidak dicatat oleh negara di pendudukan sipil, akan menimbulkan mudarat bagi anaknya, yaitu kesulitan untuk sekolah karena tidak punya arsip atau akta,” tambahnya.
“Artinya, kalaupun rukun nikah telah terpenuhi, seperti adanya dua mempelai, dua saksi, wali, dan ijab qabul, selama syarat dari negara tidak terpenuhi, pernikahan itu menjadi tidak sah. Begitupun sebaliknya," sambung dia.
3. Memahami tujuan dari pernikahan lebih komprehensif
Sebelum membahas lebih jauh, lulusan S1 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang ini terlebih dahulu mengingatkan hakikat pernikahan itu sendiri. Halim menuturkan “Kalau bertitik tolak tujuan pernikahan dalam Islam, itu bukan hanya soal kebutuhan biologis. Lebih dari itu, biasa kita menyebutnya menciptakan rumah tangga yang sakinah mawadah wa rahmah,”.
Dengan demikian, untuk mencapai tujuan pernikahan yang ideal dalam Islam, ketentuan sebagaimana ajaran Islam dan peraturan negara harus dipenuhi.
“Kembali ke kasus di Bantaeng, karena mereka di bawah umur, negara telah mengaturnya di undang-undang nikah agar mereka mengajukan dispensasi. Itu kan dari aspek usia sebagaimana ditentukan oleh negara, nah kesiapan psikologis, sosiologis, ekonomi, dan lain-lain itu harus dipertimbangkan secara objektif kondisi dua mempelai. Kalau dua syarat di atas tidak terpenuhi, Islam tidak menganjurkan pernikahan di bawah usia,” pangkas dia.
4. Tidak ada indikator tetap terkait kondisi objektif
Soal kondisi objektif calon pengantin, Halim menegaskan bahwa hal ini tidak bisa digeneralisir. Oleh sebab itu, besar peran hakim Pengadilan Agama untuk memutuskan apakah kedua mempelai di Bantaeng berhak mendapat dispensasi atau tidak.
Nah, kemabli ke tadi, kadang ada orang yang cepat dewasa, kalau dulu org 15 tahun mungkin belum cukup dewasa, lambat dewasanya. Nah sekrh kebalik. Mungkin sekrg lebih cepat dewasanya. Maka Islam melihat ketentuan umum, yaitu ketika balig dan berakal baru bisa melaksanakan perkawinan. Tetapi jauh dari itu pertimbangan laya atau tidak harus dilihat dari kondisi objektif kedua mempelai itu.
“Perkara kondisi psikologis atau sosiologis itu gak bisa dipukul rata. Kalau dulu orang tumbuh dewasanya lambat, tapi sekarang terbalik. Di Bantaeng juga, saya gak tahu pasti ya, mungkin saja di sana ada nilai adat yang hidup, seperti memperkokoh ketahanan keluarga, saya tidak tahu pasti. Yang jelas ini tergantung kepada kebijaksanaan hakim,” beber Halim.
5. Unsur darurat bisa menjadi pertimbangan hakim
Salah satu pertimbangan agar hakim Pengadilan Agama memberikan dispensasi adalah aspek kedaruratan. Pada konteks inilah kasus di Bantaeng menjadi menarik. Pasalnya, apa benar perkara tidak berani tidur sendirian di kala malam menjadi unsur darurat sehingga hakim mengizinkan dua sejoli itu menikah.
“Dalam keadaan darurat, dispensasi bisa diberikan, makanya itu menjadi pengecualian. Tapi ini lagi-lagi ditentukan oleh hakim. Dia melihat berdasarkan keterangan saksi, apakah lebih banyak mudarat atau manfaat. Kalau sang anak pendidikan belum tuntas, ekonomi belum mapan, psikologis belum matang, itukan bakal lebih banyak mudaratnya. Apalagi alasannya karena takut tidur sendirian, masa sih nikah itu menjadi satu-satunya jalan?,” paparnya.
6. Kurangnya peran lembaga negara untuk mensosialisasikan undang-undang pernikahan
Mengkritisi kasus pernikahan di Bantaeng Abdul Halim melihat pertanda bahwa peran lembaga negara, dalam hal ini dalah KUA dan Kementerian Agama, belum maksimal untuk mensosialisasikan undang-undang perkawinan.
“Kemenag dan KUA harus lebih memberikan pemahaman kepada publik tentang banyaknya bukti-bukti kalau kawin muda itu bahaya untuk kesehatan dan banyak lainnya. Belum lagi, memang benar jika dikatakan bahwa pernikahan dini adalah salah satu penyebab perceraian,” kata dia.
Terkait pernikahan dua pasangan belia, Halim meminta agar pihak keluarga mempertimbangkan lebih jauh keinginan sang anak sebelum keputusan yang diambil terlampau jauh.
“Kalau mengkaji kasus Bantaeng, itu tidak bisa lepas dari peran keluarga, ayahnya atau pamannya. Karena sebagai wali sang anak, mereka tentu bakal menjadi saksi yang memberikan keterangan kepada hakim. Dengan kata lain, mereka harusnya tahu mana yang baik atau buruk bagi anaknya,” tutupnya.(jef)