(Mughnil Muhtaj, 4: 95; Hasyiah Ibnu ‘Abidin, 2: 259; kami kutip dari Islamqa dan Al-Inshaf, 7: 243)
Wallahua’lam, dari rangkuman pendapat ulama tentang batasan tetangga di atas, pendapat yang paling tepat adalah pendapat terakhir. Bahwa tetangga adalah siapa saja yang dianggap tetangga secara budaya daerah yang kita tinggali (‘urf).
Baca Juga:
4 Ciri Kamu Bermental Baja, Salah Satunya Berani Menghadapi Masalah!
Keterangan ini dikuatkan oleh Ibnu ‘Abidin rahimahullah,
“Tetangga dalam pandangan budaya adalah rumah yang menempel atau yang tinggal satu mahallah.” (Hasyiah Ibni ‘Abidin, 3: 146, cet. Darul Kutub Ilmiyyah)
Mahallah adalah kampung. Jadi, menurut budaya masyarakat di tempat Ibnu Abidin tinggal, tetangga adalah dimulai dari rumah yang paling dekat dengan kita sampai warga satu kampung.
Baca Juga:
5 Tanda Kamu Memiliki Sifat Pemaaf dalam Dirimu, Yu Simak!
Imam Al-Mardawi rahimahullah menerangkan,
“Ada pendapat ulama yang menyatakan bahwa batasan tentangga dikembalikan kepada budaya.” Komentarku (Imam Al-Mardawi), “Inilah pendapat yang benar, jika memang hadis batasan tetangga tidak sahih.” (Al-Inshof, 7: 244)
Hadis yang dimaksud adalah hadis yang mengabarkan bahwa tetangga adalah 40 rumah dari semua arah angin rumah kita. Hadis tersebut dinilai dha’if oleh para ulama hadis, di antaranya Syekh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (6: 100, cetakan Al-Maktab Al-Islami). Andai hadis itu sahih, maka tidak perlu ada perdebatan dalam mendefinisikan tetangga. Namun, ternyata tidak sahih, sehingga dikembalikan kepada ‘urf (adat budaya setempat). [jat]