Akhlak.id | Di dalam Islam, tetangga memiliki kedudukan yang sangat mulia. Haknya sangat besar atas kita. Bahkan, Allah Ta’ala menyandingkan perintah berbuat baik kepada tetangga dengan perintah untuk menyembah dan mentauhidkan-Nya serta berbakti kepada kedua orangtua,
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabīl, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An-Nisa’: 36)
Baca Juga:
4 Ciri Kamu Bermental Baja, Salah Satunya Berani Menghadapi Masalah!
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga tegas mengingatkan umatnya soal tetangga. Beliau sampai mengabarkan orang yang mengganggu tentangga tidak akan masuk surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak akan masuk surga, orang yang membuat tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari dan Muslim, hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Saking seringnya malaikat Jibril mengingatkan Nabi tentang hak tentangga, sampai beliau berprasangka tentangga akan menjadi ahli waris,
Baca Juga:
5 Tanda Kamu Memiliki Sifat Pemaaf dalam Dirimu, Yu Simak!
“Jibril terus berpesan kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga. Hingga aku mengira, tetangga akan menjadi ahli warisnya.” (HR. Bukhari dan Muslim, hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Oleh karenanya, wajib bagi setiap muslim untuk mengilmui apa definisi atau batasan tetangga yang dimaksud dalam perintah-perintah suci di atas. Ada sejumlah pendapat ulama mengenai batasan tetangga. Berikut pendapat-pendapat tersebut:
1. Yang rumahnya menempel dengan dinding rumah kita.
2. Jama’ah salat masjid yang sama dengan kita.
3. Warga yang tinggal satu kampung
5. Warga satu kota.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Sungguh, jika orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah tidak berhenti (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan Engkau (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah), kecuali sebentar.” (QS. Al-Ahzab: 60)
Di ayat ini, Allah menyebutkan orang-orang munafik yang tinggal di kota Madinah sebagai tetangga.
6. Empat puluh rumah (40) dari setiap penjuru arah rumah kita.
7. Kembali kepada budaya atau padangan umumnya masyarakat di tempat yang kita tinggali (‘Urf).
(Mughnil Muhtaj, 4: 95; Hasyiah Ibnu ‘Abidin, 2: 259; kami kutip dari Islamqa dan Al-Inshaf, 7: 243)
Wallahua’lam, dari rangkuman pendapat ulama tentang batasan tetangga di atas, pendapat yang paling tepat adalah pendapat terakhir. Bahwa tetangga adalah siapa saja yang dianggap tetangga secara budaya daerah yang kita tinggali (‘urf).
Keterangan ini dikuatkan oleh Ibnu ‘Abidin rahimahullah,
“Tetangga dalam pandangan budaya adalah rumah yang menempel atau yang tinggal satu mahallah.” (Hasyiah Ibni ‘Abidin, 3: 146, cet. Darul Kutub Ilmiyyah)
Mahallah adalah kampung. Jadi, menurut budaya masyarakat di tempat Ibnu Abidin tinggal, tetangga adalah dimulai dari rumah yang paling dekat dengan kita sampai warga satu kampung.
Imam Al-Mardawi rahimahullah menerangkan,
“Ada pendapat ulama yang menyatakan bahwa batasan tentangga dikembalikan kepada budaya.” Komentarku (Imam Al-Mardawi), “Inilah pendapat yang benar, jika memang hadis batasan tetangga tidak sahih.” (Al-Inshof, 7: 244)
Hadis yang dimaksud adalah hadis yang mengabarkan bahwa tetangga adalah 40 rumah dari semua arah angin rumah kita. Hadis tersebut dinilai dha’if oleh para ulama hadis, di antaranya Syekh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (6: 100, cetakan Al-Maktab Al-Islami). Andai hadis itu sahih, maka tidak perlu ada perdebatan dalam mendefinisikan tetangga. Namun, ternyata tidak sahih, sehingga dikembalikan kepada ‘urf (adat budaya setempat). [jat]