Allah Ta’ala juga berfirman,
“Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum Engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama), dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka’” (QS. az-Zukhruf: 23).
Baca Juga:
7 Cara Memperbaiki Diri supaya Jadi Pribadi yang Lebih Bermutu
Apakah patut kaum musyrikin menjadi teladan dalam hal ini?!
Nasihat keempat, bagi mereka yang memperoleh rahmat dan taufik Allah Ta’ala, hendaknya memuji Allah Ta’ala atas nikmat tersebut. Allah memberinya petunjuk untuk menerima keyakinan yang benar dan meninggalkan keyakinan yang keliru, meski keyakinan yang keliru tersebut tersebar luas di masyarakat. Kemudian hendaknya ia bersungguh-sungguh melakukan upaya untuk mengajak masyarakat pada ajaran agama yang benar dengan sikap yang hikmah. Bukan mengajak mereka dengan perkataan, perbuatan, dan interaksi yang justru membuat mereka menolak kebenaran. Salah satu bentuk sikap tidak hikmah adalah dengan bersikap arogan karena berada di atas kebenaran, dan bersikap meremehkan dan menghina keyakinan mereka. Semua itu justru akan memprovokasi mereka dan menghalangi mereka untuk menerima kebenaran.
Hikmah yang bisa dipetik dari Adz-Dzahabi Rahimahullah
Baca Juga:
4 Ciri Kamu Bermental Baja, Salah Satunya Berani Menghadapi Masalah!
Terakhir, kami ingin menyampaikan perkataan Adz-Dzahabi Rahimahullah, yang menjelaskan bagaimana sekelompok orang bisa tumbuh dan berkembang menjadi Nashibi dan Syi’i. Ternyata lingkungan berpengaruh dalam membentuk mereka; dan menjadi faktor penghalang bagi mereka, sehingga mereka tidak mampu bersikap adil dan objektif. Adz-Dzahabi Rahimahullah menyampaikan,
“Di belakang Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu terdapat banyak orang yang mencintainya; mengultuskan dan memprioritaskannya daripada sahabat yang lain. Hal ini dikarenakan sejumlah alasan, yaitu Mu’awiyah telah memikat hati mereka dengan kedermawanan, kesantunan, dan kelembutannya. Selain itu, mereka terlahir di negeri Syam dalam kondisi mencintai Mua’wiyah. Demikian pula dengan anak-anak mereka, terdidik untuk mencintai beliau. Di antara mereka terdapat beberapa sahabat serta sejumlah tabi’in dan para tokoh. Bersama Mu’awiyah, mereka memerangi penduduk Irak dan berkembang menjadi Nashibi. Kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu (yang condong kepada keburukan, ed.).
Demikian pula, pasukan dan rakyat Ali Radhiallahu ‘anhu tumbuh dan berkembang untuk mencintai beliau, kecuali Khawarij yang berada di antara mereka. Mereka berjuang bersama Ali; memusuhi dan berlepas diri dari setiap orang yang membencinya; dan tidak sedikit di antara mereka yang mengultuskan Ali, sehingga terjerumus dalam paham Syi’ah. Demi Allah, menurut Anda, bagaimana kiranya kondisi seseorang yang terlahir di suatu daerah dan menonton sikap yang berlebihan dalam mencintai dan membenci? Apakah ia bisa bersikap adil dan objektif terhadap pihak lain?