Nasihat kedua, bagi para dai yang menyuarakan kebenaran, hendaknya menyadari bahwa syarat penegakan hujjah adalah lenyapnya kerancuan (syubhat) yang dapat menghalangi seseorang untuk menerima kebenaran. Berdasarkan hal itu, tergesa-gesa dalam memvonis pihak yang menyelisihi kebenaran, dan kehilangan harapan dalam mendakwahi mereka adalah hal yang tidak patut.
Nasihat ketiga, bagi mereka yang tumbuh dan berkembang di atas keyakinan tertentu, tatkala dipaparkan keyakinan lain yang bertopang pada Al-Quran dan As-Sunnah, hendaknya berlaku adil dan objektif. Tidak terburu-buru melakukan pengingkaran dan penolakan sebelum meminta kejelasan dan menimbang keyakinan yang berbeda dengan timbangan Al-Quran dan As-Sunnah.
Baca Juga:
7 Cara Memperbaiki Diri supaya Jadi Pribadi yang Lebih Bermutu
Demikian pula, jika keyakinan yang selama ini diyakini terbukti keliru berdasarkan dalil yang dipaparkan oleh pihak lain, maka ia wajib menerima dan tunduk pada kebenaran.
Jika telah mengetahui kekeliruan dan kerusakan keyakinan yang dipeluknya, ia tak boleh menolak kebenaran dengan alasan mengikuti kebiasaan masyarakat dan bersikap fanatik terhadap keyakinan yang telah mendarah daging. Fanatisme hanyalah boleh ditujukan pada kebenaran.
Perlu dicamkan, bahwa tetap berada di atas kesalahan, dengan beralasan lingkungan dan masyarakat sekitar juga mempraktikkan hal yang serupa, merupakan alasan yang juga disampaikan oleh kaum musyrikin.
Baca Juga:
4 Ciri Kamu Bermental Baja, Salah Satunya Berani Menghadapi Masalah!
Kaum musyrikin tidak bosan dan selalu mengulang-ulang pernyataan di telinga para nabi bahwa keyakinan mereka adalah produk turun-temurun yang berkembang di masyarakat.
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka” (QS. Az-Zukhruf: 22).