Memaknainya sedemikian rupa, sehingga akhlak menjadi legitimasi keberadaan Badan Usaha Milik Negara yang utuh bersatu.
Bahkan ke depan, bukannya tidak mungkin perusahaan-perusahaan lain yang seluruhnya berdiri melalui pengesahan dari pemerintah akan mengadopsi mengajarkan penghayatan dan pemahaman akhlak, menjadi nilai dasar perusahannya.
Baca Juga:
Destinasi Hits Terbaru Indonesia, 5.000 Wisatawan Serbu IKN Setiap Hari
Tentu dalam perjalanannya yang baru satu tahu, akhlak bagi sebuah proses bisnis adalah bukan keniscayaan, saya lebih setuju memandang akhlak sebagai organisme hidup, ia harus kita rawat terus menerus sepanjang tahun, kita harus rutin bertanya pada diri kita minimal setahun sekali, dimana akhlak kita dan bagaimana kita mengimplementasikanya dalam kehidupan sehari-hari.
Mari terus menggali lebih dalam intisari akhlak sebagai bagian dari penghayatan bisnis kontekstual untuk mengisi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Sebagai konsep nilai yang memiliki dimensi teologis dan interreligius tadi, akhlak menuntut kita untuk mewujudkan common good (praksis) dalam bisnis dan kehidupan.
Baca Juga:
Netanyahu Tawarkan Rp79 Miliar untuk Bebaskan Satu Sandera di Gaza
Dengan demikian, nilai-nilai akhlak bukan lagi dipahami secara sangat inklusif, tetapi juga performatif dalam tindakan.
Artinya, penggalian inpirasi dari spirit akhlak tidak hanya lagi cukup dalam tataran ortodoksi (pengajaran/kampanye di masing-masing perusahaan) tetapi juga ortopraksis (kinerja bisnis dan pengabdian kepada masyarakat).
Prinsipnya, keseluruhan nilai yang terkandung dalam akhlak harus dipahami sebagai ‘kata kerja’ yang menggerakkan Insan BUMN untuk mewujudkan ritual sosial yang menyejahterahkan.