Akhlak.id | Akhlak ditinjau dalam tiga konsepsi living value, kalimatun sawa, dan pengalaman historis manusia Indonesia. Secara historis, Akhlak tidak hanya sebagai filosofi dasar.
Lebih dari itu, AKHLAK adalah agregat dari nilai-nilai Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif yang sudah hidup, tumbuh dan berkembang dalam diri Insan BUMN sebagai living value dalam aktifitas mereka sehari-hari.
Baca Juga:
Destinasi Hits Terbaru Indonesia, 5.000 Wisatawan Serbu IKN Setiap Hari
Refleksi dari pengalaman historis tersebut menempatkan Akhlak sebagai simpul pemersatu (common denominator) dan bukan sebagai terminologi atau konsep yang diperdebatkan.
Persatuan ini bersumber dan sekaligus diikat dalam makna kata akhlak itu sendiri yang diambil dari akar kata khuluk dalam bahasa Arab yang berarti tingkah laku, tabiat atau perangai.
Secara istilah, akhlak yaitu sifat yang dimiliki seseorang, telah melakat dan biasanya akan tercermin dari perilaku orang tersebut. Dengan demikian, ikatan ini lebih bersifat personal-emosional untuk mencapai tujuan bersama.
Baca Juga:
Netanyahu Tawarkan Rp79 Miliar untuk Bebaskan Satu Sandera di Gaza
Akhlak adalah kalimatun sawa (titik temu) bagi seluruh entitas BUMN, yaitu ‘penyebut yang sama’ bagi perusahaan yang berbeda entitasnya, yang mentransformasi keragaman usaha menjadi kesatuan bisnis, tentu dengan tanpa masing-masing perusahaan tersebut kehilangan keunggulan dan kharasteristik khasnya.
Konsep akhlak ini mengubah divergensi mindset menjadi konvergensi, menjawab segenap penugasan dengan amanah, berlatih dan beranjak dari amatir menjadi kompeten, mengubah persaingan dan perbedaan menjadi faktor yang lebih harmonis.
Menyemangati ulang makna loyalitas dalam dinamika bisnis, mengubah corak bisnis yang kaku menjadi lebih adaptif, dan mengkonversi eksklusivisme perusahaan menjadi semangat kolaborasi.
Memaknainya sedemikian rupa, sehingga akhlak menjadi legitimasi keberadaan Badan Usaha Milik Negara yang utuh bersatu.
Bahkan ke depan, bukannya tidak mungkin perusahaan-perusahaan lain yang seluruhnya berdiri melalui pengesahan dari pemerintah akan mengadopsi mengajarkan penghayatan dan pemahaman akhlak, menjadi nilai dasar perusahannya.
Tentu dalam perjalanannya yang baru satu tahu, akhlak bagi sebuah proses bisnis adalah bukan keniscayaan, saya lebih setuju memandang akhlak sebagai organisme hidup, ia harus kita rawat terus menerus sepanjang tahun, kita harus rutin bertanya pada diri kita minimal setahun sekali, dimana akhlak kita dan bagaimana kita mengimplementasikanya dalam kehidupan sehari-hari.
Mari terus menggali lebih dalam intisari akhlak sebagai bagian dari penghayatan bisnis kontekstual untuk mengisi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Sebagai konsep nilai yang memiliki dimensi teologis dan interreligius tadi, akhlak menuntut kita untuk mewujudkan common good (praksis) dalam bisnis dan kehidupan.
Dengan demikian, nilai-nilai akhlak bukan lagi dipahami secara sangat inklusif, tetapi juga performatif dalam tindakan.
Artinya, penggalian inpirasi dari spirit akhlak tidak hanya lagi cukup dalam tataran ortodoksi (pengajaran/kampanye di masing-masing perusahaan) tetapi juga ortopraksis (kinerja bisnis dan pengabdian kepada masyarakat).
Prinsipnya, keseluruhan nilai yang terkandung dalam akhlak harus dipahami sebagai ‘kata kerja’ yang menggerakkan Insan BUMN untuk mewujudkan ritual sosial yang menyejahterahkan.
Akhlak harus menghadirkan wajah BUMN yang humanis. Ini adalah tantangan kita bersama.(jef)