Akibat lonjakan harga urea, pupuk lainnya yang berbasis nitrogen pun ikut-ikutan naik. Seperti pupuk DAP, kalau harga urea naik 3 kali, DAP naik 2,4 kali.
"Untuk petani dengan lahan di bawah 2 hektare memang ada pupuk subsidi. Jadi, hampir semua petani padi sawah pakai pupuk subsidi. Tapi, dengan alokasi hanya 9 juta ton, sementara kebutuhan sekitar 2 kali itu, tentu petani akan beli pupuk non-subsidi," kata dia.
Baca Juga:
Distan Mukomuko Pastikan Stok Pupuk Subsidi Aman untuk Musim Tanam
Hanya saja, dengan harga pupuk non-subsidi yang tinggi, akan memberatkan petani.
"Dan ini menyangkut kualitas hasil panen. Padahal, dari segi jenis pupuk subsidi dan non-subsidi saja sudah menyebabkan perbedaan kualitas. Karena sumber pupuk majemuk itu beda-beda, tentu dampaknya beda terhadap kualitas panen," kata Dwi Andreas.
Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Gula (Ikagi) Aris Toharisman, akibat lonjakan harga pupuk, petani tebu kemungkinan akan mengurangi pemberian pupuk. Yang akan berdampak pada kualitas tebu, sehingga mempengaruhi rendemen dan produksi gula.
Baca Juga:
Bupati Koltim: Pendistribusian Pupuk Subsidi Harus Tepat Sasaran untuk Petani
"Input produksi tinggi, petani mengurangi pupuk, produktivitas jadi tidak maksimal. Belum lagi biaya tenaga kerja naik. Ini akan mengeskalasi biaya di petani naik 40-60%. Karena biaya pupuk itu bisa mencapai Rp5 juta per ha, atau sekitar 30% dari biaya tanaman," kata Aris melansir CNBC Indonesia, Jumat (14/1/2022).
Menurut dia, petani tebu di Jawa kebanyakan menggunakan pupuk ZA, sedangkan luar Jawa memakai pupuk Urea.
"Total konsumsi pupuk per hektare bisa mencapai 800 kuintal hingga 1,2 ton dalam bentuk ZA, NPK, dan KCl. Harga ZA naik dari Rp3.000 per kg jadi Rp5.100 per kg," ujar dia.