Wahantani.com | Petani di dalam negeri saat ini menghadapi sejumlah tantangan. Diantaranya, harga bahan pangan pokok, efek domino lonjakan harga internasional sejumlah komoditas, cuaca, hingga lonjakan harga pupuk non-subsidi.
Padahal, biaya pupuk berkontribusi sekitar 36% untuk produksi tanaman tebu. Sementara untuk sebagian petani lain seperti padi sawah dan tanaman palawija lainnya, berkontribusi sekitar 10%-an oleh pupuk subsidi, dan non-subsidi 20%.
Baca Juga:
Distan Mukomuko Pastikan Stok Pupuk Subsidi Aman untuk Musim Tanam
"Petani yang tidak mendapat pupuk subsidi pasti akan membeli yang non-subsidi. Tapi, karena harga internasionalnya juga naik tinggi, di jaringan petani kami juga membeli harga tinggi," kata Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santoso kepada CNBC Indonesia, Jumat (14/1/2022).
Menurut Dwi Andreas, krisis akibat lonjakan harga pupuk terutama urea sudah terjadi sejak tahun lalu. Akibat pergerakan harga gas yang terus naik.
Mengutip indexmundi.com, harga urea di bulan Juni 2021 adalah US$393,25 per metrik ton, lalu melonjak jadi US$900,50 per metrik ton. Pada saat bersamaan, harga LNG Indonesia adalah US$9,62 per MMBTU di Juni 2021, melonjak jadi US$12,77 per MMBTU.
Baca Juga:
Bupati Koltim: Pendistribusian Pupuk Subsidi Harus Tepat Sasaran untuk Petani
Puncaknya, saat harga LNG Indonesia naik 8,22% di bulan Oktober 2021, harga Urea melonjak 65,97% di pasar internasional.
Tidak hanya di Indonesia, lonjakan harga ini sempat memicu krisis urea di Korea Selatan pada tahun 2021.
"Tadinya harga urea yang Rp6.000 per kg, naik ke Rp7.500, lalu ke Rp12.000 per kg. Pasokan ada karena BUMN harus penuhi kebutuhan dalam negeri. Tapi, karena kita juga ekspor, tentu produsen nggak akan mau rugi-rugi amat," kata Dwi Andreas.
Akibat lonjakan harga urea, pupuk lainnya yang berbasis nitrogen pun ikut-ikutan naik. Seperti pupuk DAP, kalau harga urea naik 3 kali, DAP naik 2,4 kali.
"Untuk petani dengan lahan di bawah 2 hektare memang ada pupuk subsidi. Jadi, hampir semua petani padi sawah pakai pupuk subsidi. Tapi, dengan alokasi hanya 9 juta ton, sementara kebutuhan sekitar 2 kali itu, tentu petani akan beli pupuk non-subsidi," kata dia.
Hanya saja, dengan harga pupuk non-subsidi yang tinggi, akan memberatkan petani.
"Dan ini menyangkut kualitas hasil panen. Padahal, dari segi jenis pupuk subsidi dan non-subsidi saja sudah menyebabkan perbedaan kualitas. Karena sumber pupuk majemuk itu beda-beda, tentu dampaknya beda terhadap kualitas panen," kata Dwi Andreas.
Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Gula (Ikagi) Aris Toharisman, akibat lonjakan harga pupuk, petani tebu kemungkinan akan mengurangi pemberian pupuk. Yang akan berdampak pada kualitas tebu, sehingga mempengaruhi rendemen dan produksi gula.
"Input produksi tinggi, petani mengurangi pupuk, produktivitas jadi tidak maksimal. Belum lagi biaya tenaga kerja naik. Ini akan mengeskalasi biaya di petani naik 40-60%. Karena biaya pupuk itu bisa mencapai Rp5 juta per ha, atau sekitar 30% dari biaya tanaman," kata Aris melansir CNBC Indonesia, Jumat (14/1/2022).
Menurut dia, petani tebu di Jawa kebanyakan menggunakan pupuk ZA, sedangkan luar Jawa memakai pupuk Urea.
"Total konsumsi pupuk per hektare bisa mencapai 800 kuintal hingga 1,2 ton dalam bentuk ZA, NPK, dan KCl. Harga ZA naik dari Rp3.000 per kg jadi Rp5.100 per kg," ujar dia.
Direktur Pupuk dan Pestisida Kementerian Pertanian Muhammad Hatta mengatakan, alokasi pupuk bersubsidi tahun 2022 adalah sebanyak 9.118.057 ton dan 1.870.380 liter pupuk organik cair
"Alokasi tahun 2021 sebanyak 8.776.847 ton dan 500.000 ton. Kenaikan alokasi 2022 karena peningkatan usulan kebutuhan pupuk dari tahun 2021," ujar Hatta. [tum]