Dr Ali Jamil, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian menyebut ada target luasan lahan 1 juta hektare tanaman padi yang dilindungi melalui skema asuransi. Sayangnya, target itu tidak tercapai sampai saat ini, apalagi di tengah deraan pandemi COVID 19 pada tiga tahun terakhir.
“Tiga tahun atau dua tahun terakhir ini, peserta asuransi ini sangat jauh menurun. Kalau kita perhatikan data tahun 2020, itu peserta asuransi masih ada satu juta lebih,” kata Ali, dalam konferensi mengenai asuransi pertanian yang diselenggarakan Bappenas, Kamis (8/6).
Baca Juga:
Tragedi Api Los Angeles, 137 Kilometer Persegi Luluh Lantak
Namun, pada 2021 jumlah petani yang mengikuti program asuransi hanya sekitar 400 ribu orang, setahun kemudian angkanya kembali turun menjadi hanya 353 ribu petani.
Padahal, pemerintah menanggung 80 persen biaya premi asuransi yang harus dibayarkan petani kepada perusahaan pengelola, PT Jasindo.
Dalam skema yang disusun PT Jasindo, asuransi ini disebut sebagai Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP). Fungsinya adalah memberikan perlindungan kepada petani dari ancaman risiko gagal panen sebagai dampak banjir, kekeringan, penyakit dan serangan organisme pengganggu tanaman.
Baca Juga:
MK Putuskan Pasal 251 KUHD Inkonstitusional, Perusahaan Asuransi Tak Bisa Batalkan Klaim Sepihak
Nilai premi yang harus dibayar sebesar Rp180 ribu, dengan 80 persennya ditanggung pemerintah, sehingga petani cukup membayar Rp36 ribu. Nilai pertanggungan maksimalnya adalah Rp6.000 per hektare dengan kriteria petani penggarap atau pemilik lahan maksimal dua hektare.
Sejumlah Kabupaten/Kota Tetapkan Status Siaga Darurat Kekeringan
“Kalau dihitung-hitung, uang Rp36 ribu premi yang harus dibayar oleh para petani sesungguhnya tidak cukup besar kalau dibandingkan dengan uang belanja para petani kita. Tapi itulah kenyataannya,” ungkap Ali tentang kecilnya peran serta petani dalam program ini.