WahanaNews.co | Jauh sebelum isu iklim mengemuka, pemerintah sejak satu dasawarsa lalu telah memperkenalkan skema asuransi petani sebagai tameng pelindung. Sayang, program ini kurang greget di lapangan.
Melanir dari VOA Indonesia, Kamis (8/6/2023) sektor pertanian diprediksi menjadi salah satu sektor yang menerima dampak perubahan iklim secara signifikan.
Baca Juga:
Pagar SMKN 1 Kota Jambi Ambruk Telan 3 Korban jiwa
Mustofa, pengurus paguyuban petani Al Barokah di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah mengaku telah lama mendengar soal asuransi petani. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang bertugas di wilayah itu melakukan sosialisasi asuransi, dan bahkan ada anggota paguyuban yang kemudian mendaftar. Sayang, kata Mustofa, ketika panen mengalami kegagalan dan klaim hendak dicairkan, prosesnya terlalu rumit bagi petani.
“Pernah disosialisasikan, terus didaftar. Tetapi ketika mendapat musibah terkait hama, ya sudah, enggak ada tindak lanjut. Saya juga nggak ngerti secara persis, proses asuransi itu seperti apa,” ujarnya kepada VOA, Kamis (8/6).
Salah satu masalahnya, kata Mustofa, adalah syarat administrasi yang terlalu banyak untuk dipenuhi kalangan petani. Apalagi, setelah proses itu, klaim asuransi yang diharapkan tetap tidak keluar. Padahal, mbuhnya, prinsip pertama bagi petani untuk bisa tertarik adalah bahwa sistemnya harus sederhana.
Baca Juga:
LAK DKI Jakarta Buka Posko Pengaduan untuk Kasus Asuransi PT Axa Financial Indonesia
“Yang kedua, petani itu yang penting ada riil-nya. Jadi nilai kepercayaan sebuah program itu kalau memang terbukti ada hasilnya, gitu,” ujar Mustofa.
Karena itulah, bagi Mustofa dan rekan-rekannya, gagal panen dianggap sebagai musibah yang memang harus dihadapi. Skema asuransi petani yang ditawarkan pemerintah menjadi tidak begitu menarik karena dianggap berbelit.
Jumlah Peserta Minim
Provinsi Jawa Tengah memiliki sekitar 1,7 juta hektare lahan padi. Dari sejumlah itu, Kementerian Pertanian hanya menganggarkan biaya asuransi untuk 100 ribu hektare, di mana 15 ribu hektar edi dalamnya masuk dalam program provinsi. Sebagai contoh, dari data Dinas Pertanian dan Perkebunan Jawa Tengah, di Desa Wonosoco, Kabupaten Kudus, akhir tahun 2022 lalu ada lahan padi seluas 255 hektare terendam banjir. Hanya 15 hektar di antaranya yang bisa menerima klaim asuransi karena sisanya tidak masuk dalam program.
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Jawa Tengah Supriyanto dalam penjelasannya menyebut pada akhir 2022 ketika bencana banjir terjadi di berbagai wilayah, areal sawah padi yang tergenang di provinsi itu mencapai 28.344 hektare dan puso 5.615 hektare.
Dari jumlah itu, klaim asuransi diberikan ke petani dengan luas lahan 883 hektare bernilai Rp5,2 miliar lebih, pada masa pengajuan klaim 26 Desember 2022-3 Januari 2023.
“Sebelumnya, sejak 21 April-5 Desember 2022, PT Jasindo selaku perusahaan asuransi telah membayar ganti rugi klaim sebesar Rp3,1 miliar atau setara dengan 520,63 hektare,” ujar Supriyanto.
Klaim akan cair setelah melalui proses survei dari petugas asuransi. Salah satu syaratnya adalah intensitas kerusakan mencapai lebih dari 75 persen pada setiap luas petak terdampak.
Seorang pria mengambil air dari sumur di sebuah bendungan yang mengering, 4 Agustus 2009. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur mendorong masyarakat bersiap menghadapi musim kemarau yang lebih kering. (Foto: Reuters/Sigit Pamungkas)
Pandemi Menekan Asuransi
Pemerintah memang telah mengantisipasi dampak perubahan iklim pada sektor pertanian, antara lain dengan menyediakan program asuransi bagi petani. Secara khusus, program ini ditetapkan melalui Undang-Undang 19/2013.
Dr Ali Jamil, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian menyebut ada target luasan lahan 1 juta hektare tanaman padi yang dilindungi melalui skema asuransi. Sayangnya, target itu tidak tercapai sampai saat ini, apalagi di tengah deraan pandemi COVID 19 pada tiga tahun terakhir.
“Tiga tahun atau dua tahun terakhir ini, peserta asuransi ini sangat jauh menurun. Kalau kita perhatikan data tahun 2020, itu peserta asuransi masih ada satu juta lebih,” kata Ali, dalam konferensi mengenai asuransi pertanian yang diselenggarakan Bappenas, Kamis (8/6).
Namun, pada 2021 jumlah petani yang mengikuti program asuransi hanya sekitar 400 ribu orang, setahun kemudian angkanya kembali turun menjadi hanya 353 ribu petani.
Padahal, pemerintah menanggung 80 persen biaya premi asuransi yang harus dibayarkan petani kepada perusahaan pengelola, PT Jasindo.
Dalam skema yang disusun PT Jasindo, asuransi ini disebut sebagai Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP). Fungsinya adalah memberikan perlindungan kepada petani dari ancaman risiko gagal panen sebagai dampak banjir, kekeringan, penyakit dan serangan organisme pengganggu tanaman.
Nilai premi yang harus dibayar sebesar Rp180 ribu, dengan 80 persennya ditanggung pemerintah, sehingga petani cukup membayar Rp36 ribu. Nilai pertanggungan maksimalnya adalah Rp6.000 per hektare dengan kriteria petani penggarap atau pemilik lahan maksimal dua hektare.
Sejumlah Kabupaten/Kota Tetapkan Status Siaga Darurat Kekeringan
“Kalau dihitung-hitung, uang Rp36 ribu premi yang harus dibayar oleh para petani sesungguhnya tidak cukup besar kalau dibandingkan dengan uang belanja para petani kita. Tapi itulah kenyataannya,” ungkap Ali tentang kecilnya peran serta petani dalam program ini.
Ali menyebut semestinya program ini tidak hanya menjadi beban pemerintah pusat. Pemerintah daerah, baik level gubernur dan bupati atau wali kota, seharusnya turut menyediakan anggaran asuransi bagi petani. Terutama karena target yang tinggi membutuhkan dana besar.
Indonesia memiliki sekitar 11 juta hektare lahan padi, dan Kementerian Pertanian menargetkan setidaknya 30 persen luasan itu dilindungi asuransi.
Tak Bisa Berdiri Sendiri
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melihat peran penting asuransi untuk sektor pertanian. Apalagi, kata Dr Vivi Yulaswati Deputi Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, Bappenas, Indonesia berada di tengah situasi tak menentu akibat perubahan iklim.
“Instrumen ini berperan dalam memitigasi resiko terhadap dampak negatif perubahan iklim, seperti perubahan curah hujan ekstrem, kenaikan suhu dan gangguan lainnya. Saat ini, kami sedang bersiap menghadapi dampak El Nino, yaitu kemarau panjang, dimulai tahun ini dan puncaknya tahun depan,” kata Vivi dalam konferensi yang sama.
Vivi menyebut, kondisi tidak ideal dalam pelaksanaan asuransi petani bisa dijadikan bahan pelajaran untuk memperbaiki program ini ke depan.
“Kita memahami, asuransi pertanian tidak bisa berdiri sendiri. Harus didukung oleh banyak kegiatan lainnya, seperti misalnya edukasi terhadap petani terkait dengan illiterasi asuransi yang masih cukup tinggi,” kata Vivi.
Selain itu, Bappenas juga memandang penting pelatihan dan penguatan kapasitas petani terkait dengan produksi dan juga mitigasi resiko pertanian. Langkah ketiga adalah mendorong ekosistem dan peran pelaku asuransi pertanian, baik di pusat maupun daerah.
Meski lamban di lapangan, pemerintah tetap berharap bahwa asuransi pertanian selalu masuk dalam perumusan rencana pembangunan jangka panjang 2025-2045. Tujuan utamanya adalah mendukung ketahanan pangan.
“Tentunya hal ini terkait dengan ketahanan terhadap berbagai bencana yang saat ini sebagian besar disebabkan oleh hidrometrologi atau akibat dari dampak perubahan iklim,” lanjut Vivi.
[Redaktur: Alpredo]