Tambangnews.id | Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyampaikan produksi bijih nikel dalam negeri saat ini dalam kondisi melimpah alias kelebihan pasokan.
Terlebih, hal ini tidak diimbangi dengan kapasitas input atau kebutuhan bijih nikel dari pabrik pengolahan dan pemurnian alias smelter yang beroperasi di dalam negeri.
Baca Juga:
Dukung Hilirisasi, PLN Siapkan Listrik Andal Untuk Smelter Freeport yang Baru Diresmikan Presiden Jokowi
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mencatat setidaknya ada empat provinsi yang ramai aktivitas pertambangan nikel, antara lain Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.
Adapun dari keempat provinsi tersebut, terdapat 328 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel sebelum dicabut oleh pemerintah. Kemudian, di empat provinsi tersebut juga terdapat 81 badan usaha pengolahan nikel.
Menurut Meidy, jika 328 IUP tersebut mengajukan permohonan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun 2022, maka pasokan bijih nikel dipastikan melampaui permintaan dari smelter nikel yang ada saat ini.
Baca Juga:
Dukung Hilirisasi, PLN Siapkan Listrik Andal Untuk Smelter Freeport yang Baru Diresmikan Presiden Jokowi
Pasalnya, kebutuhan bijih nikel untuk smelter di dalam negeri lebih rendah dibandingkan pasokan yang ada.
"Kebutuhan bijih nikel pabrik smelter, kita lihat ke belakang untuk di 2021 sebesar 72 juta wet metric ton (wmt) per tahun. Jika 328 mendapatkan RKAB minimal 500 ribu ton per tahun, maka total suplai (bijih nikel) 164 juta," kata Meidy dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (22/03/2022).
Hal ini lantas membuat pelaku usaha menjadi dilematis. Pasalnya, jika perusahaan tidak mengajukan RKAB di tahun ini, maka ancaman pencabutan IUP oleh pemerintah di depan mata.