Kemudian, Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pasal penghinaan presiden bisa dilakukan penuntutan hanya jika diadukan langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden secara tertulis alias merupakan delik aduan.
Setiap orang yang terbukti menghina presiden dan menyebarkannya diancam hukuman penjara hingga enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Baca Juga:
Polda Metro Jaya Panggil Ulang Roy Suryo dan Dewan Pers soal Ijazah Jokowi
Lalu, Pasal 240 dan 241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah. Pasal tersebut mengancam pidana hingga tiga tahun atau denda maksimal kategori IV bagi siapapun yang menghina pemerintah yang sah. Hinaan disyaratkan menyebabkan kerusuhan di tengah masyarakat.
Keempat, Pasal 263 dan 264 tentang Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong. Pasal 263 mengancam pidana penjara hingga enam tahun bagi siapapun yang terbukti secara sengaja menyebarkan berita bohong dan mengakibatkan kerusuhan di tengah masyarakat.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra mendesak DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang untuk menghapus pasal-pasal dalam draf RKUHP terbaru yang disinyalir mengancam kemerdekaan pers.
Baca Juga:
Pengurus PWI Pusat Akhirnya Berdamai, PWI Papua Barat Daya Sambut Baik Rencana Rekonsiliasi
Azyumardi mengatakan hal demikian, karena menilai pembuat undang-undang sejauh ini tidak mengindahkan delapan poin keberatan Dewan Pers terhadap sejumlah pasal dalam draf RKUHP 2019 pada naskah yang terbaru.
"Setelah mempelajari materi RUU KUHP versi terakhir 4 Juli 2022, Dewan Pers tidak melihat adanya perubahan pada delapan poin yang sudah diajukan," kata Azyumardi di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Jumat (15/7).
"Untuk itu Dewan Pers menyatakan agar pasal-pasal di bawah ini dihapus karena berpotensi mengancam kemerdekaan pers, mengkriminalisasi karya jurnalistik dan bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam UU Pers 40/1999 tentang Pers," imbuhnya.