Martabat.WahanaNews.co | Ketua Komisi Pendataan, Kajian, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan pihaknya akan bertemu dengan Menkumham Yasonna H Laoly guna membahas sejumlah pasal bermasalah yang masih ada di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru.
Ninik mengatakan pertemuan akan digelar pada Rabu (20/7) besok dan akan dihadiri Wamenkumham Edward OS Hiariej atau biasa disapa Eddy Hiariej.
Baca Juga:
PWI Gugat Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu Rp 100,3 Miliar
"Besok rencananya kami juga akan berdialog dengan Pak Menteri, Pak Wamen untuk memastikan apakah yang sekarang ini menjadi pembahasan di ruang publik," kata Ninik di kompleks parlemen, Rabu (19/7).
Ninik menerangkan dalam draf RKUHP pihaknya mencatat setidaknya sembilan pasal bermasalah. Pasal-pasal tersebut menurut dia terutama mengancam kebebasan pers dan bertentangan dengan UU Pers dan Pasal 27 UUD 1945.
Bahkan, katanya, hal itu juga pernah disampaikan Eddy Hiariej dalam sebuah kesempatan. Pihaknya ingin memastikan RKUHP bisa kembali dibahas secara transparan dan melibatkan publik secara luas.
Baca Juga:
Antara MASDUKI dan DUMISAKE
"Pemerintah sendiri mengakui, Pak Wamenkumham, Pak Eddy menyampaikan bahwa memang masih ada pasal-pasal yang perlu didiskusikan," kata Ninik.
Adapun beberapa pasal dianggap bermasalah dan mengancam kebebasan pers antara lain Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap ideologi negara. Ayat 1 pasal 188 mengancam pidana penjara hingga empat tahun bagi siapapun yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme di ruang publik.
Namun, pidana tidak dapat dilakukan jika kajian dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Kemudian, Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pasal penghinaan presiden bisa dilakukan penuntutan hanya jika diadukan langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden secara tertulis alias merupakan delik aduan.
Setiap orang yang terbukti menghina presiden dan menyebarkannya diancam hukuman penjara hingga enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Lalu, Pasal 240 dan 241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah. Pasal tersebut mengancam pidana hingga tiga tahun atau denda maksimal kategori IV bagi siapapun yang menghina pemerintah yang sah. Hinaan disyaratkan menyebabkan kerusuhan di tengah masyarakat.
Keempat, Pasal 263 dan 264 tentang Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong. Pasal 263 mengancam pidana penjara hingga enam tahun bagi siapapun yang terbukti secara sengaja menyebarkan berita bohong dan mengakibatkan kerusuhan di tengah masyarakat.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra mendesak DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang untuk menghapus pasal-pasal dalam draf RKUHP terbaru yang disinyalir mengancam kemerdekaan pers.
Azyumardi mengatakan hal demikian, karena menilai pembuat undang-undang sejauh ini tidak mengindahkan delapan poin keberatan Dewan Pers terhadap sejumlah pasal dalam draf RKUHP 2019 pada naskah yang terbaru.
"Setelah mempelajari materi RUU KUHP versi terakhir 4 Juli 2022, Dewan Pers tidak melihat adanya perubahan pada delapan poin yang sudah diajukan," kata Azyumardi di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Jumat (15/7).
"Untuk itu Dewan Pers menyatakan agar pasal-pasal di bawah ini dihapus karena berpotensi mengancam kemerdekaan pers, mengkriminalisasi karya jurnalistik dan bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam UU Pers 40/1999 tentang Pers," imbuhnya.
Dewan Pers, kata Azyumardi, menilai pasal-pasal tersebut multitafsir dan berpotensi membelenggu kebebasan pers. Beberapa substansi dalam sejumlah pasal juga berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Seperti misalnya, larangan menyiarkan hal berbau komunisme marxisme, dan leminisme.
Dalam rancangan aturan itu, apabila tulisan memuat tentang komunisme lalu menimbulkan kegaduhan, jurnalis dapat dipidana dengan ancaman dua tahun penjara meski tulisan itu bernada kritis.
"Kalau misal menimbulkan kegaduhan maka kemudian bisa ditambah hukumannya. Kalau kegaduhannya menimbulkan korban luka atau ada yang cidera itu hukumannya nambah. Itu contohnya," ujar dia.
Selain itu, Azyumardi juga menilai jurnalis rentan menjadi objek kriminalisasi. Jurnalis tak diperbolehkan mengkritik pemerintah bila tak mengikutsertakan solusi di tulisannya. [tum]