"Saya pikir inilah saatnya bagi pemerintah pusat dan regulator untuk turun tangan," kata Ding. "Pada titik tertentu mereka akan masuk untuk mengatasi masalah beberapa perusahaan. Sektor ini terlalu penting bagi perekonomian."
The Financial Times baru-baru ini melaporkan bahwa China mengeluarkan US$ 148 miliar (Rp 2.201 triliun) pinjaman untuk membantu pengembang properti.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Bloomberg melaporkan bahwa pemegang hipotek dapat menangguhkan pembayaran tanpa itu mempengaruhi nilai kredit mereka.
Namun dalam catatan baru-baru ini, Oxford Economics mengatakan setiap intervensi pemerintah pada properti dan infrastruktur dapat memberikan dorongan jangka pendek tetapi "hal itu tidak ideal untuk pertumbuhan jangka panjang China karena pemerintah dan sektor keuangan dipaksa untuk membantu mempertahankan industri properti yang tidak produktif (dan gagal).
Ini juga bukan hanya krisis keuangan. Boikot hipotek berisiko menjadi masalah sosial yang serius, kata Ding.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Dan itu bisa menjadi masalah bagi Presiden Xi Jinping menjelang kongres partai penting akhir tahun ini di mana ia diperkirakan akan mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga yang bersejarah.
Apa yang terjadi selanjutnya?
Para analis mengatakan bailout (dana talangan) yang dilaporkan mungkin tidak akan cukup. Capital Economics memperkirakan perusahaan membutuhkan US$ 444 miliar (Rp 6.603 triliun) hanya untuk menyelesaikan proyek yang dihentikan.