Pinjaman yang diboikot bisa berjumlah US$ 145 miliar (sekitar Rp 2.156 triliun), menurut perkiraan S&P Global. Lembaga lain mengatakan angka itu bisa lebih tinggi.
Aksi para pembeli properti ini telah mendapat perhatian pihak berwenang, di tengah pasar properti yang berada di bawah tekanan ekonomi yang melambat serta krisis uang tunai.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Lebih lagi, hal itu menandakan kurangnya kepercayaan terhadap salah satu pilar utama perekonomian di China, yang merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia.
"Boikot hipotek, didorong oleh sentimen yang memburuk terhadap properti, adalah ancaman yang sangat serius terhadap posisi keuangan sektor ini," kata lembaga riset Oxford Economics, dalam sebuah catatan baru-baru ini.
Mengapa krisis properti China krusial?
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Sektor properti China mencakup sepertiga dari keluaran ekonomi negara itu. Sektor tersebut mencakup rumah, kontrakan, dan layanan perantara seperti industri yang memproduksi perabot rumah tangga; dan bahan konstruksi.
Tetapi ekonomi China telah melambat, pada kuartal terakhir hanya tumbuh 0,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Sejumlah ekonom memperkirakan tidak akan ada pertumbuhan tahun ini.
Ini sebagian besar karena strategi nol-Covid Beijing - karantina wilayah yang berulang dan pembatasan berkelanjutan telah mempengaruhi pendapatan, yang kemudian berdampak pada tabungan dan investasi.