Penjualan di muka ini mencakup 70%-80% dari penjualan rumah baru di China, kata Evans-Pritchard. Dia berkata, pengembang properti membutuhkan uang itu karena mereka menggunakannya untuk mendanai beberapa proyek sekaligus.
Namun banyak kaum muda China dan orang-orang dari kelas menengah tidak lagi berinvestasi di properti, kemungkinan karena ekonomi yang lemah, kehilangan pekerjaan dan pemotongan gaji. Sekarang ada juga ketakutan bahwa pengembang mungkin tidak menyelesaikan proyek.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
"Itu bagian dari masalah saat ini. Pengembang mengandalkan uang yang masuk, dan penjualan itu tidak terjadi lagi," kata Evans-Pritchard.
Pinjaman senilai lebih dari US$ 220 miliar (Rp 3.272 triliun) dapat dikaitkan dengan proyek-proyek yang belum selesai, menurut kelompok perbankan ANZ. Dan kredit - sumber utama uang tunai di tahun-tahun jaya sebelumnya - juga telah mengering.
Pada tahun 2020, pemerintah China memperkenalkan "tiga garis merah" - kebijakan akuntansi untuk membatasi pinjaman yang bisa diakses pengembang.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Kebijakan itu memotong pendanaan. Kurangnya kepercayaan terhadap pasar properti juga telah mempengaruhi kesediaan bank untuk memberikan pinjaman kepada perusahaan properti.
Apa yang dilakukan pemerintah?
Pemerintah China menempatkan tanggung jawab pada pemerintah daerah - mereka menawarkan uang muka lebih kecil, potongan pajak dan subsidi tunai untuk pembeli rumah, dan dana bantuan untuk pengembang. Tapi dampaknya kas pemerintah daerah akan terpukul.