Perusahaan yang tidak memenuhi kuota DMO yang telah disepakati bersama sebesar 25% dari total produksi, pemerintah dengan kewenangannya dapat menghentikan kegiatan ekspor batu bara dari perusahaan tersebut.
Kecuali perusahaan yang memiliki kualitas batubara yang tidak sesuai spesifikasi DMO, dapat dikenakan dana kompensasi. Karena itu, BLU bukan hal yang mendesak.
Baca Juga:
Pertumbuhan Tinggi, Dirjen ESDM: Masalah Over Supply Listrik di Jawa-Bali Akan Teratasi
"Tugas dan kewenangan BLU ini cukup besar. Badan ini bertugas memungut biaya kompensasi atas selisih harga batu bara Domestic Market Obligation (DMO) dengan harga batu bara di luar negeri. Dengan skema tertentu, jika asumsi HBA rata-rata US$ 200/ton, dana kompensasi yang dapat dikumpulkan BLU diestimasi sekitar Rp.137,6 triliun," jelas Rizal.
Adapun, model pengelolaan dana hasil pungutan akan mirip dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (Bpdpkas) yang mendukung program mandatori B30.
Dalam pelaksanaannya, PLN akan membeli lebih dahulu batu bara ke penambang sesuai harga pasar, lalu selisihnya akan dikembalikan dari kutipan BLU kepada PLN.
Baca Juga:
Tarif Listrik Triwulan IV Tidak Naik, PLN Jaga Pelayanan Listrik Tetap Andal
Menurut dia mekanisme dan besaran pungutan yang akan dikenakan, serta bagaimana bentuk penyaluran serta penggunaan dana ini perlu diperjelas.
Pasalnya, aspek tata kelola, akuntabilitas dan transparansi menjadi penting, agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan.
"Presiden Jokowi sendiri pernah mengatakan bahwa dengan perpanjangan birokrasi dikuatirkan akan muncul korupsi korupsi baru," tambah Rizal.