Tambangnews.id | Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebentar lagi bakal merilis lembaga baru, yakni Badan Layanan Umum (BLU) sebagai pemungut iuran batu bara.
Dengan adanya BLU ini, harga batu bara khusus dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) bakal dilepas ke mekanisme pasar.
Baca Juga:
Pertumbuhan Tinggi, Dirjen ESDM: Masalah Over Supply Listrik di Jawa-Bali Akan Teratasi
Seperti yang diketahui, sejauh ini ada tiga industri yang menikmati harga khusus DMO batu bara.
Diantaranya adalah PT PLN (Persero) yang harga batu baranya dipatok US$ 70 per ton beserta industri pupuk dan semen yang dipatok US$ 90 per ton.
Nah, dengan hadirnya BLU, harga DMO tentunya akan mengikuti harga batu bara dipasar. Namun, BLU tersebut akan memungut selisih dari harga patokan dengan harga batu bara pasar.
Baca Juga:
Tarif Listrik Triwulan IV Tidak Naik, PLN Jaga Pelayanan Listrik Tetap Andal
Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin memastikan bahwa semua industri yang mendapat alokasi khusus DMO juga akan mendapatkan perlakuan hal yang sama.
"Kalau DMO ya semuanya," ujar Ridwan saat ditemui di Gedung DPR, beberapa waktu yang lalu.
Namun, sayang Ridwan belum bisa memastikan detil terkait dengan mekanisme penggantian selisih antara harga pasar dengan mekanisema harga patokan DMO.
"Sedang dibahas itu prinsipnya. Nanti kita tunggu udah putus saja ya. Biar tidak terjadi diskursus yang belum putus," ujarnya.
Di sisi lain, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menilai rencana pemerintah membentuk BLU guna memastikan kesediaan kebutuhan batu bara dalam negeri perlu dikaji dan disosialisasikan lebih mendalam sebelum diterapkan.
Hal ini guna menghindari pengambilan kebijakan yang reaktif dan kondisional.
Menurut Perhapi, BLU yang akan dibentuk akan meninggalkan permasalahan baru dalam iklim investasi di Indonesia, khususnya di bidang pertambangan.
Selain itu, pengelolaan dana yang begitu besar, juga menjadi tantangan tersendiri.
"Kebijakan dan peraturan yang kerap berubah dan cenderung reaktif, akan menyebabkan kepastian hukum dan kepastian berinvestasi di Indonesia menjadi lemah. Apalagi, jika sebuah kebijakan didasari oleh variabel harga komoditi yang tidak bisa dipastikan fluktuasinya, termasuk harga batubara," kata Ketua Umum PERHAPI Rizal Kasli dalam siaran persnya (7/7/2022).
Rizal menilai jika alasannya adalah memastikan tidak terulangnya kelangkaan pasokan batu bara di dalam negeri, maka sejatinya mekanisme dan ketentuan mengenai DMO yang selama ini diterapkan, sudah bisa dijadikan instrumen untuk memastikan pemenuhan pasokan batu bara untuk PLN dan industri dalam negeri.
Hanya dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat, dan penegakan hukum (law enforcement) yang tegas atas perusahaan yang tidak patuh.
Perusahaan yang tidak memenuhi kuota DMO yang telah disepakati bersama sebesar 25% dari total produksi, pemerintah dengan kewenangannya dapat menghentikan kegiatan ekspor batu bara dari perusahaan tersebut.
Kecuali perusahaan yang memiliki kualitas batubara yang tidak sesuai spesifikasi DMO, dapat dikenakan dana kompensasi. Karena itu, BLU bukan hal yang mendesak.
"Tugas dan kewenangan BLU ini cukup besar. Badan ini bertugas memungut biaya kompensasi atas selisih harga batu bara Domestic Market Obligation (DMO) dengan harga batu bara di luar negeri. Dengan skema tertentu, jika asumsi HBA rata-rata US$ 200/ton, dana kompensasi yang dapat dikumpulkan BLU diestimasi sekitar Rp.137,6 triliun," jelas Rizal.
Adapun, model pengelolaan dana hasil pungutan akan mirip dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (Bpdpkas) yang mendukung program mandatori B30.
Dalam pelaksanaannya, PLN akan membeli lebih dahulu batu bara ke penambang sesuai harga pasar, lalu selisihnya akan dikembalikan dari kutipan BLU kepada PLN.
Menurut dia mekanisme dan besaran pungutan yang akan dikenakan, serta bagaimana bentuk penyaluran serta penggunaan dana ini perlu diperjelas.
Pasalnya, aspek tata kelola, akuntabilitas dan transparansi menjadi penting, agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan.
"Presiden Jokowi sendiri pernah mengatakan bahwa dengan perpanjangan birokrasi dikuatirkan akan muncul korupsi korupsi baru," tambah Rizal.
Menurut Perhapi, kewajiban pengusaha pertambangan batu bara kepada negara sebenarnya telah diatur dengan tegas dan jelas, melalui pungutan pajak dan royalti yang besarannya berlaku progresif tergantung harga batu bara, serta jenis izin pengusahaannya.
Keuntungan dari kenaikan harga melalui peningkatan pemasukan negara pun kembali kepada PLN melalui subsidi energi.
Artinya, hal ini sudah berjalan dan tidak diperlukan kebijakan atau sistem baru. [jat]