Benar saja, saat perdagangan Senin dibuka, mata uang rubel langsung ambrol lebih dari 30% ke atas RUB 110/US$ yang merupakan rekor terlemah sepanjang sejarah.
Ambruknya rubel tersebut membuat bank sentral Rusia mengambil langkah ekstrim dengan menaikkan suku bunga menjadi 20% dari sebelumnya 9,5%.
Baca Juga:
Banyak Warga RI Dukung Invasi Rusia, Ternyata Ini Alasannya
"Dampak situasi eksternal terhadap perekonomian Rusia telah berubah drastis. Kenaikan suku bunga acuan akan membuat suku bunga simpanan berada di level yang memadai untuk menutup risiko depresiasi kurs dan inflasi," sebut keterangan tertulis bank sentral Rusia.
Langkah tersebut membuat rubel lebih stabil dan mengakhiri perdagangan Senin di RUB 101/US$, atau merosot 20%. Dan pada perdagangan hari ini, Selasa (1/3) rubel berbalik menguat nyaris 6,7% ke RUB 94,2/US$ pada pukul 16:42 WIB.
Sebelum Rusia, kasus pemutusan hubungan suatu negara dari SWIFT sebenarnya pernah terjadi. Iran kehilangan akses ke SWIFT pada 2012 sebagai akibat dari saksi yang dijatuhkan dunia internasional atas program nuklir yang dimilikinya.
Baca Juga:
Rusia Dikabarkan Buka Perekrutan untuk Tentara di Asia Tengah
Iran bisa menjadi contoh seberapa besar dampak dikeluarkannya dari SWIFT. Melansir Forbes ekspor Iran langsung jeblok hingga 52% setelah dikeluarkan dari SWIFT.
Di tahun 2021, estimasi ekspor Rusia senilai US$ 490 miliar dengan impor US$ 304 miliar. Akses SWIFT sendiri banyak digunakan oleh sektor minyak dan gas.
Menurut bank sentral Rusia, ekspor minyak mentah berkontribusi sebesar 38% dari total ekspor atau senilai US$ 184 miliar, dan gas berkontribusi sebesar 12% atau senilai US$ 56 miliar. Total nilai ekspor keduannya sebesar US$ 240 miliar.