MAWAKA ID I Invasi yang dilakukan Rusia ke Urkaina menuai respon berbagai negara. Amerika Serikat dan Negara Barat lainnya memberikan berbagai macam sanksi ekonomi.
Salah satunya, Rusia dikeluarkan dari dari jejaring informasi perbankan internasional yang dikenal sebagai SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication).
Baca Juga:
Banyak Warga RI Dukung Invasi Rusia, Ternyata Ini Alasannya
Menyadur dari CNBC Indonesia, SWIFT merupakan jaringan pengiriman pesan yang digunakan oleh bank dan lembaga keuangan lainnya untuk mengirim dan menerima informasi transaksi dengan cepat dan aman. Misalnya saja, instruksi pengiriman dana. Sistem ini juga yang berada di balik sebagian besar transaksi pembayaran dan pengiriman dana internasional.
SWIFT kini sudah mengkoneksikan lebih dari 11 ribu institusi keuangan di lebih dari 200 negara sehingga transaksi keuangan antar negara dapat dilaksanakan.
"Ini akan memastikan bahwa bank-bank ini terputus dari sistem keuangan internasional dan membahayakan kemampuan mereka untuk beroperasi secara global," tulis pernyataan bersama yang dirilis oleh Gedung Putih dilansir dari CNN.
Baca Juga:
Rusia Dikabarkan Buka Perekrutan untuk Tentara di Asia Tengah
Langkah tersebut dikatakan menjadi semacam senjata "nuklir keuangan" bagi Rusia.
Sergei Aleksashenko, mantan wakil gubernur bank sentral Rusia menyebutkan pasar finansial negaranya mengalami malapetaka akibat dikeluarkan dari SWIFT.
"Itu berarti akan ada malapetaka di pasar mata uang Rusia pada hari Senin," kata Aleksashenko kepada Reuters, Minggu (27/2).
Benar saja, saat perdagangan Senin dibuka, mata uang rubel langsung ambrol lebih dari 30% ke atas RUB 110/US$ yang merupakan rekor terlemah sepanjang sejarah.
Ambruknya rubel tersebut membuat bank sentral Rusia mengambil langkah ekstrim dengan menaikkan suku bunga menjadi 20% dari sebelumnya 9,5%.
"Dampak situasi eksternal terhadap perekonomian Rusia telah berubah drastis. Kenaikan suku bunga acuan akan membuat suku bunga simpanan berada di level yang memadai untuk menutup risiko depresiasi kurs dan inflasi," sebut keterangan tertulis bank sentral Rusia.
Langkah tersebut membuat rubel lebih stabil dan mengakhiri perdagangan Senin di RUB 101/US$, atau merosot 20%. Dan pada perdagangan hari ini, Selasa (1/3) rubel berbalik menguat nyaris 6,7% ke RUB 94,2/US$ pada pukul 16:42 WIB.
Sebelum Rusia, kasus pemutusan hubungan suatu negara dari SWIFT sebenarnya pernah terjadi. Iran kehilangan akses ke SWIFT pada 2012 sebagai akibat dari saksi yang dijatuhkan dunia internasional atas program nuklir yang dimilikinya.
Iran bisa menjadi contoh seberapa besar dampak dikeluarkannya dari SWIFT. Melansir Forbes ekspor Iran langsung jeblok hingga 52% setelah dikeluarkan dari SWIFT.
Di tahun 2021, estimasi ekspor Rusia senilai US$ 490 miliar dengan impor US$ 304 miliar. Akses SWIFT sendiri banyak digunakan oleh sektor minyak dan gas.
Menurut bank sentral Rusia, ekspor minyak mentah berkontribusi sebesar 38% dari total ekspor atau senilai US$ 184 miliar, dan gas berkontribusi sebesar 12% atau senilai US$ 56 miliar. Total nilai ekspor keduannya sebesar US$ 240 miliar.
Jika melihat dampaknya ke Iran yang ekspornya jeblok hingga 50%, maka nilai ekspor migas Rusia bisa merosot menjadi US$ 120 miliar. Itu baru dari sektor migas, belum ekspor yang lainnya.
Selain jebloknya ekspor, rubel yang terpuruk membuat bank sentral Rusia menaikkan suku bunga hingga menjadi 20%, hal ini tentunya berisiko menekan perekonomian Rusia lebih dalam. [tum]