Jurnalmaritim.id | Pekerja perikanan khususnya awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di dalam dan luar negeri belum sepenuhnya mendapat perlindungan dari pemerintah.
Dalam kurun waktu dua tahun yaitu 2020-2022 tercatat 232 orang awak kapal perikanan yang menjadi korban.
Baca Juga:
Tugboat Terbakar: Tiga ABK Alami Luka Bakar Parah di Kalimantan Tengah
Mereka menjadi korban praktik kerja paksa dan perdagangan orang dari lemahnya sistim hukum, kebijakan dan program pelindungan awak kapal perikanan.
Destructive Fishing Watch Indonesia meminta pemerintah Indonesia untuk mengadopsi ketentuan internasional tentang kerangka perlindungan bagi awak kapal perikanan yaitu konvensi ILO 188/2007 dan menyelesaikan aturan turunan UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Koordinator Program Hotspot, DFW Indonesia, Imam Trihatmadja mengatakan bahwa korban awak kapal perikanan terus berjatuhan dengan banyaknya pengaduan yang masuk di National Fishers Center.
Baca Juga:
Pencarian ABK Tugboat yang Terbakar di Sungai Barito Dihentikan Setelah Sepuluh Hari
“Pengungkapan kasus ABK di berbagai media dan oleh aparat penegak hukum dalam beberapa tahun terakhir ini tidak membuat perbaikan tata kelola pelindungan ABK menjadi lebih baik,” kata Imam, Minggu (10/4).
Pihaknya mencatat dalam periode 3 bulan kuartal pertama tahun ini, National Fisher Center telah menerima 9 pengaduan dengan jumlah korban 33 orang.
“Secara total sejak tahun 2020 sampai dengan Maret 2022, kami telah menerima 77 pengaduan awak kapal perikanan dengan jumlah korban 232 orang,” sambungnya.