Hak konsumen dalam partisipatif kebijakan, lanjut Ary, baik secara konstitusional maupun secara politik, telah dikebiri.
Ketika konsumen akan dan telah memenuhi kewajibannya, maka secara seimbang, konsumen juga membutuhkan perlindungan dan pemenuhan hak, seperti hak mendapatkan ruang yang aman dan nyaman.
Baca Juga:
Pj Gubernur DKI Minta Percepatan Pembangunan Tanggul Laut Cegah Rob Utara
"Kami konsumen punya hak partisipasi dalam kebijakan publik tapi kami tidak dilibatkan. Kami tidak keberatan ketika aktivitas kami diatur tapi tolong diberi ruang, fasilitas yang sesuai dan akses," tegas Ary.
Senada, sebagai bagian dari mata rantai ekosistem pertembakauan, Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menyebut pihaknya tidak anti regulasi.
Namun yang patut dipertanyakan adalah proses perjalanan pembuatan kebijakan dan substansi kebijakan itu sendiri.
Baca Juga:
Tips Aman Gunakan Listrik Saat Ditinggal Liburan
"DKI Jakarta sudah punya berbagai peraturan terkait larangan produk tembakau, penjualan produk tembakau, pajak rokok sampai yang terbaru adalah Sergub DKI Nomor 8 Tahun 2021. AMTI menyikapi perihal seluruh regulasi ini, implementasi masih banyak cacatnya. Ini yang perlu dievaluasi," kata Sekjen AMTI Hananto Wibisono.
Dari sisi legislatif, Ketua Fraksi PDI-P Gembong Warsono menyadari, pembentukan dan materi muatan Ranperda KTR DKI Jakarta wajib berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini, haruslah sesuai dengan prinsip aturan yang tertuang di atasnya.
"Secara proses, penyusunan Ranperda KTR DKI Jakarta harus disusun secara matang, tidak bisa dikebut. Karena naskah akademiknya belum masuk ke DPRD DKI Jakarta. Secara rasional tahapannya panjang dan dalam pasal-pasalnya harus bisa mengakomodir seluruh pihak," ungkapnya.