Markus menegaskan usulan ini hanya untuk pengekspor CPO, sedangkan turunannya tidak dikenakan.
"Jadi, jangan semua. kalau semua nanti, waduh, kita malah jadi nggak bersaing di pasar ekspor nanti," terangnya.
Baca Juga:
RSUI-Sania Royale Rice Band, Seminar Atasi Stroke dengan Gamma Oryzanol: Metode Memasak Minyak Goreng Sehat
Lebih lanjut, Markus menambahkan, peraturan yang sekarang ada, selain membebani semua pihak, tidak hanya pemain CPO tapi turunannya, juga terdapat aturan menyediakan 20% kebutuhan untuk dalam negeri. Dengan begitu mereka diharuskan menjual dengan harga yang tidak sebanding.
Sebagai contoh, PT Sumi Asih harus memenuhi kewajiban DMO, pihaknya harus membeli CPO atau olein dengan harga pasar yang saat ini harganya Rp 20.500 per kilogram (kg).
Lalu pihaknya mesti jual minyak goreng dengan harga yang ditentukan pemerintah Rp 10.300 per kg. Artinya ada selisih sebesar Rp 10.200 per kg.
Baca Juga:
P3PI Dorong Peningkatan Standar Higienis di Pabrik Kelapa Sawit menuju Kelayakan Food Grade
Markus menilai selisih itu terlalu tinggi. Ia pun bertemu dengan Kementerian Perdagangan dan mengusulkan bayar saja untuk subsidi Rp 4.000 hingga Rp 5.000 dari pada Rp 10.200 dengan skema DMO.
"Pak, kalau pengusaha dirasehin begitu mending kalau memang Bapak mau memberikan subsidi, daripada repot repot tentukan saja ini (besarannya), kalau kita DMO sekian katakanlah selisihnya sebesar itu (Rp 10.200), sudah Pak, kita disuruh bayar saja per ekspor itu Rp 4.000-5.000," katanya kepada pihak Kementerian perdagangan, yang ia tidak disebutkan namanya.
Kemudian uang itu disinkronkan dengan Bantuan Langsung Tunai milik Kementerian Sosial untuk dibagikan kepada yang benar-benar membutuhkan. Tidak seperti sekarang, semua pihak, baik yang kaya maupun miskin menikmati minyak goreng murah.