Salah satu bentuk nasionalisasi di dunia industri otomotif adalah pendirian PT Indonesia Service Company (ISC) pada 1950, perusahaan perakit mobil pertama di Indonesia pasca-kemerdekaan.
Perusahaan ini dipimpin tokoh-tokoh yang memiliki relasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Baca Juga:
Kemenpora Persilahkan Nobar Indonesia - Uzbekistan U-23, Asal Tak Dikomersialkan
Di kemudian hari, terjadinya nasionalisme ekonomi memunculkan kelompok-kelompok borjuasi lokal di sektor industri otomotif, seperti kelompok Hasjim Ning dan kelompok borjuasi pro-PNI (Partai Nasional Indonesia) yang sama-sama bersaing dalam memegang lisensi impor mobil. Mereka mengandalkan koneksi politik dalam menjalankan bisnis.
Dilansir dari situs resmi Gaikindo, fenomena dalam sejarah otomotif nasional adalah gagalnya ambisi Presiden Soekarno membangun proyek mobil nasional.
Ini menyebabkan terjadinya kekacauan dan kemunduran dalam industri otomotif pada pertengahan dasawarsa 1960-an. Kebangkitan industri otomotif terjadi pada era Orde Baru yang dipicu berbagai kebijakan.
Baca Juga:
Kedubes Inggris - Mitra Lokal BRIRIns Luncurkan Platform Dukung Pemasaran UMKM
Beberapa kebijakan penting yang dibuat adalah adanya kewajiban manufaktur otomotif asing memiliki agen pemegang merek (APM) serta larangan impor mobil utuh (completely built up/CBU).
Hal tersebut nyatanya mampu mendorong investasi dan meningkatkan skala produksi kendaraan bermotor di dalam negeri. Sosok perintis industri otomotif di Indonesia saat itu, antara lain William Soeryadjaya, Hadi Budiman, Sjarnoebi Said, dan Soebronto Laras.
Mereka menjadi pembuka jalan merek otomotif dunia bersama perusahaan atau kelompok usahanya, seperti PT Astra International Tbk, PT Honda Prospect Motor, PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Sales Indonesia, PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors, serta PT Indomobil Sukses Makmur Tbk.