Oto.WahanaNews.co | Sejarah otomotif Tanah Air lahir lebih dari 120 tahun silam, tepatnya pada masa kolonial Belanda. Penjualan mobil di Indonesia ada sejak negara ini berada saat pemerintahan Belanda.
Perdagangan mobil kala itu mendorong beberapa merek otomotif Amerika dan Eropa masuk ke Indonesia dengan mitra para pengusaha lokal. Pengusaha lokal inilah yang memasarkan mobil dengan perannya sebagai importir.
Baca Juga:
Kalimantan Selatan Tuan Rumah, Ini Arti dan Makna Logo Resmi HPN 2025
Kendaraan bermotor pertama yang tiba di Indonesia adalah sepeda motor dua silinder Hildebrand und Wolfmüller dari Jerman, yang dibawa warga Inggris John C Potter pada 1893. Dia merupakan seorang ahli mesin di Pabrik Gula Oemboel, Probolinggo, Jawa Timur.
Setahun setelahnya mobil pertama masuk Indonesia yang dipesan Susuhunan Pakubuwono X. Penguasa Keraton Kasunanan Surakarta tersebut membeli sebuah mobil buatan Jerman, yaitu Benz Victoria.
Setelah itu, banyak kaum elit Belanda dan pribumi membeli mobil. Kemudian muncul komunitas otomotif di berbagai daerah, antara lain Soerabajasche Auto Club (nantinya berubah menjadi Java Auto Club), Semarangsche Auto Club, Nederlands Indie Automobiel Club, dan Deli Automobile Club.
Baca Juga:
Pemkab Dairi Siap Dukung Gugus Tugas Polri Sukseskan Ketahanan Pangan
Keberadaan komunitas tersebut secara tidak langsung berperan dalam perkembangan pariwisata di Hindia Belanda. Anggota komunitas sering berpelesir ke tempat-tempat wisata yang indah.
Ada pula fenomena berupa kompetisi pemecahan rekor waktu perjalanan Batavia-Surabaya menggunakan mobil atau sepeda motor yang diinisiasi Decnop pada 1912.
Pada era pasca-kemerdekaan, semua industri milik asing diakuisisi kaum pribumi. Ini berlaku pula pada industri otomotif.
Salah satu bentuk nasionalisasi di dunia industri otomotif adalah pendirian PT Indonesia Service Company (ISC) pada 1950, perusahaan perakit mobil pertama di Indonesia pasca-kemerdekaan.
Perusahaan ini dipimpin tokoh-tokoh yang memiliki relasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Di kemudian hari, terjadinya nasionalisme ekonomi memunculkan kelompok-kelompok borjuasi lokal di sektor industri otomotif, seperti kelompok Hasjim Ning dan kelompok borjuasi pro-PNI (Partai Nasional Indonesia) yang sama-sama bersaing dalam memegang lisensi impor mobil. Mereka mengandalkan koneksi politik dalam menjalankan bisnis.
Dilansir dari situs resmi Gaikindo, fenomena dalam sejarah otomotif nasional adalah gagalnya ambisi Presiden Soekarno membangun proyek mobil nasional.
Ini menyebabkan terjadinya kekacauan dan kemunduran dalam industri otomotif pada pertengahan dasawarsa 1960-an. Kebangkitan industri otomotif terjadi pada era Orde Baru yang dipicu berbagai kebijakan.
Beberapa kebijakan penting yang dibuat adalah adanya kewajiban manufaktur otomotif asing memiliki agen pemegang merek (APM) serta larangan impor mobil utuh (completely built up/CBU).
Hal tersebut nyatanya mampu mendorong investasi dan meningkatkan skala produksi kendaraan bermotor di dalam negeri. Sosok perintis industri otomotif di Indonesia saat itu, antara lain William Soeryadjaya, Hadi Budiman, Sjarnoebi Said, dan Soebronto Laras.
Mereka menjadi pembuka jalan merek otomotif dunia bersama perusahaan atau kelompok usahanya, seperti PT Astra International Tbk, PT Honda Prospect Motor, PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Sales Indonesia, PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors, serta PT Indomobil Sukses Makmur Tbk.
Jasa mereka membuat merek otomotif dunia asal Jepang, yaitu Toyota, Honda, Suzuki, dan Mitsubishi yang ekspansi ke Indonesia sejak 1970-an berkibar hingga sekarang.
Pada 1972, pemerintah memutuskan perakit dan agen dikonsolidasikan. Sejak 1975, industri ini diwakili kelompok perdagangan Gabungan Agen-agen dan Asembler Kendaraan Bermotor Indonesia, Asosiasi Agen Tunggal Indonesia dan Perakit Mobil, yang saat ini tergabung dalam Gaikindo.[gab]