WahanaNews.co | Pasca mengalami kejahatan seksual, korban akan mimiliki luka dalam bentuk stres besar atau trauma. Di mana kondisi tersebut bukan masalah kecil dan tidak bisa diremehkan.
Menurut Margaretha Rehulina, S.Psi., G.Dip.Psych., M.Sc., korban kejahatan seksual harus segera mendapatkan bantuan konseling oleh profesional. Baik melalui psikolog atau psikiater.
Tujuannya, adalah untuk membuat korban menjadi kuat dan melanjutkan hidupnya kembali. “Keluarga atau lingkungan masyarakat sangat penting untuk membantu korban. Misalnya bantuan mengakses layanan konseling agar korban dapat melanjutkan hidupnya kembali,” kata Margaretha, Kamis (23/12).
Berbicara mengenai kesehatan mental korban kejahatan seksual, Dosen Fakultas Psikologi (FPSi) Universitas Airlangga (Unair) ini mengungkapkan fakta yang terjadi cukup miris. Pasalnya, orang terdekat seringkali tidak percaya pada cerita korban.
“Jika masih terlalu kecil, dianggap ah anak-anak membuat fantasi mungkin. Atau ketika dia sudah besar dianggap berbohong. Nah ini yang Justru malah menumpulkan keinginan korban untuk mencari bantuan. Akhirnya si korban akan tambah terpuruk dengan luka kejahatan seksual,” ungkapnya.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
Untuk itu, orang terdekat korban harus memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengekspresikan emosinya.
Menurutnya, berbagai emosi dapat muncul secara alamiah ketika tubuh kita dijarah oleh seseorang. Bisa merasa marah, sedih, menangis, malu, bisa juga diam. Itu terjadi baik pada orang dewasa, anak kecil, maupun pada laki-laki.
“Nah ini jangan dipaksa untuk dikendalikan emosinya. Saya pernah lihat ada orang menangis dibilang jangan menangis kamu harus kuat. Atau sudah, bangkit, jangan ingat masa lalu,” terangnya.
Margaretha juga menuturkan, ada beberapa orang yang butuh waktu lebih lama untuk memproses emosinya. Untuk itu, setidaknya orang terdekat membantu dengan mendengarkan atau memberikan akses kepada konseling profesional.
“Kita perlu menyediakan kesempatan bagi korban untuk mengekspresikan, memahami, dan mengelola emosinya hingga suatu saat dia yang mengendalikan sendiri emosinya,” tuturnya.
Di samping itu, keluarga juga perlu memberikan dukungan terbaik dengan tidak terus-menerus mengulang cerita tentang luka dan trauma korban.
Alih-alih untuk menggali informasi, lebih baik memberikan dukungan. Misalnya memfasilitasi minat dan potensi korban untuk melanjutkan hidupnya. Tanpa harus menggali detail traumanya apalagi mempergunjingkan.
“Jadi kalau memang membantu korban kejahatan seksual tidak perlu bergunjing, tidak perlu mengetahui detail, karena tidak perlu semua orang tahu informasi ini. Justru keluarga harus menjaga kerahasiaan tidak perlu informasi ini dibongkar untuk semua tanpa tujuan,” pungkasnya.
[kaf]